Perilaku Submisif, Agresif, Dan Asertif

PERILAKU SUBMISIF, AGRESIF, DAN ASERTIF

Pertentangan dalam hubungan sosial bukan hal yang aneh, baik alasannya problem pekerjaan maupun problem pribadi. Adakalanya kontradiksi tersebut segera berakhir, namun adakalanya berlarut-larut, dan semuanya terjadi alasannya sikap yang ditampilkan semua pihak dalam menyikapi kontradiksi tersebut.

Dalam hubungan kerja, tentu sangat diharapkan semoga kontradiksi yang muncul bisa segera ditangani, sehingga tujuan dari masing-masing pekerjaan bisa tercapai secara optimal. Yang menjadi problem adalah, sikap ibarat apakah yang paling sanggup diharapkan bisa menuntaskan permasalahan sehingga kedua belah pihak yag bermasalah sama-sama merasa diperlakukan adil?

Sebelum kita membahas materi ini lebih lanjut, kita lakukan dulu penilaian diri untuk mengukur seberapa jauh tingkat keasertifan kita ketika ini.

A. Perilaku Submisif, Agresif, dan Asertif
            Dalam hubungan interpersonal, sikap seseorang terhadap orang lain sanggup dikelompokkan menjadi sikap asertif, sikap submisif, dan sikap agresif.
            Pada ketika kita menampilkan sikap “manis”, “tidak menjadikan problem bagi orang lain”, lemah, pasif, mengorbankan diri sendiri, tidak bisa menolak, membiarkan kebutuhan, pendapat, pikiran, penilaian orang lain mendominasi kebutuhan, pendapat, pikiran, dan penilaian diri kita sendiri, maka kita sudah menampilkan sikap submisif. Sebagai contoh: seorang Kepala Sekolah cenderung menghindari memberi kiprah yang cukup rumit kepada salah seorang guru alasannya guru tersebut seringkali mengajukan keberatan bila diberi kiprah ibarat itu.
Perilaku submisif ini cepat atau lambat akan menjadikan rasa terancam dan tersakiti, tidak puas, depresi, penyakit fisik, serta akan mengukuhkan keberadaan sikap bergairah orang lain.
Perilaku submisif muncul alasannya didorong oleh adanya keyakinan sumbisif, yaitu keyakinan bahwa:
1.    Orang lain lebih penting, lebih cerdas, atau apapun, yang semuanya lebih baik daripada saya.
2.    Orang lain tidak menyukai saya alasannya saya tidak layak disukai
3.    Pendapat saya tidak berharga dan tidak akan dihargai
4.    Saya harus tepat dalam melaksanakan apa pun, bila tidak, sempurnalah kegagalan saya
5.    Lebih baik kondusif dan tak menyampaikan apa pun daripada saya menyampaikan apa yang saya pikirkan.
            Perilaku bergairah yakni sikap yang self-centered (hanya mengutamakan hak, kepentingan, pendapat, kebutuhan, dan perasaan sendiri), mengabaikan hak orang lain. Orang-orang yang bergairah berasumsi bahwa hanya dirinyalah yang benar, sehingga perilakunya berisi permusuhan dan kesombongan. Mereka sering memakai kemarahan dan bahasa badan yang bergairah serta sikap mengancam lain untuk menggertak, menaklukkan, dan mendominasi orang lain. Mereka akan memakai bahasa yang menyakiti orang lain untuk menyimpulkan bahwa seseorang bersalah serta mempermalukannya. Sebagai contoh, ketika seorang guru tidak bisa melaksanakan kiprah ibarat yang diharapkannya, seorang kepala sekolah berkata “Masa yang begini saja tidak bisa. Saya kan sudah bilang, kerjakan saja ibarat petunjuk saya, tidak perlu cari-cari cara lain”.
Orang-orang yang bergairah biasanya mengambil laba dari orang-orang yang submisif. Dari orang-orang bergairah ini pulalah munculnya chauvinisme.
Munculnya sikap bergairah didorong oleh adanya keyakinan bahwa:
1.    Saya lebih terpelajar dan lebih mempunyai kekuatan dibandingkan dengan orang lain.
2.    Orang lain tidak bisa dipercaya bisa melaksanakan apa yang mereka katakan
3.    Ini yakni dunia “jeruk makan jeruk”. Saya harus bertindak kepada orang lain daripada orang lain bertindak kepada saya.
4.    Satu-satunya cara semoga sesuatu terealisasi yakni menyuruh orang lain. Meminta merupakan tanda kelemahan.
5.    Orang harus bertarung dengan keras (fight hard) untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan
            Perilaku asertif yakni sikap yang merupakan ekspresi/pernyataan dari minat, kebutuhan, pendapat, pikiran, dan perasaan, yang dilakukan secara bijaksana, adil, dan efektif, sehingga hak-hak kita bisa dipertahankan dengan tetap memperhatikan penghargaan atas kesetaraan dan hak orang lain.
Perilaku asertif membuat seseorang menjadi lebih percaya diri dan merasa berharga, mempunyai konsep diri yang tepat, meningkatkan pengendalian diri (self-control) dalam kehidupan sehari-hari, serta memperoleh hubungan yang adil dengan orang lain. Perilaku asertif ini  merupakan penangkal terhadap sikap submisif dan sikap agresif.
Munculnya sikap asertif didorong oleh keyakinan bahwa:
1.    Saya sederajat/setara dengan orang lain, dengan hak dasar yang sama
2.    Saya bebas untuk berpikir, memilih, dan membuat keputusan untuk diri saya sendiri
3.    Saya bisa untuk mencoba sesuatu, membuat kesalahan, belajar, dan mengembangkan diri.
4.    Saya bertanggung jawab atas tindakan saya dan respons saya terhadap orang lain
5.    Saya tidak perlu minta ijin untuk mengambil tindakan
6.    Tidak problem bila tidak oke dengan orang lain. Persetujuan tidak selalu diharapkan dan tidak selalu tepat.
Bila dibandingkan, maka karakteristik ketiga jenis sikap tersebut yakni sebagaimana diuraikan dalam tabel di bawah ini:
Tabel 3.1. Perbedaan Karakteristik Perilaku Submisif, Agresif dan Aserif
Sifat
Perilaku Submisif
Perilaku Agresif
Perilaku Asertif
Penghargaan kepada orang lain
Tinggi
Rendah
Tinggi
Penghargaan kepada diri sendiri
Rendah
(Biasanya) tinggi
Tinggi
Tindakan utama
·         Tunduk kepada orang lain
·         Saya yang terakhir
·         Kelemahan tampak
·         Kekuatan jadi kurang penting
·         Selalu menyerah
·         Menyerang orang lain
·         Saya yang pertama
·         Kelemahan di sembunyikan
·         Kekuatan dibesar-besarkan
·         Tidak tunduk
·         Menghargai orang lain
·         Saya dan Anda sederajat
·         Terbuka mengenai kelemahan dan kekuatan
·         Pertukaran yang adil
Keuntungan yang dirasakan
·         Tidak diganggu
·         Resiko eksklusif rendah
·         Akan disukai
·         Mendapatkan apa yang diinginkan
·         Tidak diganggu
·         Akan dihargai
·         Banyak mendapatkan apa yang diinginkan
·         Akan dihargai
·         Hubungan yang adil/wajar
Kerugian yang mungkin didapat
·         Hubungan buruk
·         Diabaikan
·         Orang lain mengambil keuntungan
·         Hubungan buruk
·         Ada balas dendam tersembunyi
·         Kehilangan komunikasi
·         Tidak selalu mendapatkan apa yang diinginkan
·         Membingungkan/ membuat cemburu orang lain

B. Melatih Diri Berperilaku Asertif
            Ada beberapa perkiraan yang mendasari, mengapa kita perlu melatih diri untuk berperilaku asertif. Pertama, setiap orang mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi. Kedua, setiap orang mempunyai hak yang sama. Ketiga, setiap orang bisa memperlihatkan kontribusi terhadap apa yang dibicarakan. Selain itu, sikap asertif juga berkhasiat sebagai penangkal terhadap rasa takut, malu, kepasifan, bahkan kemarahan.
Berdasarkan penelitian, Schimmel (1976) menyatakan bahwa beberapa jenis sikap asertif yang perlu dilatihkan terutama adalah:
1.    Berani mengemukakan pendapat, permintaan, kesukaan, dsb, yang menjadikan seseorang dihargai sebagai insan yang sederajat dengan insan lain.
2.    Mengekspresikan emosi-emosi negatif (keluhan, kebencian, kritik, ketidaksetujuan, rasa tertekan, kebutuhan untuk dibiarkan sendirian) dan menolak permintaan.
3.    Memperlihatkan emosi-emosi positif (senang, menghargai, menyukai seseorang, merasa tertarik), memperlihatkan pujian, dan mendapatkan kebanggaan dengan mengucapkan “terima kasih”.
4.    Memulai, melaksanakan, mengubah, atau menghentikan percakapan secara menyenangkan, mengembangkan perasaan, pendapat, dan pengalaman dengan orang lain.
5.    Mengatasi ketersinggungan sebelum kemarahan makin meningkat dan meledak menjadi agresi.
Untuk melatihkan dan menerapkan sikap asertif, ada dua tahap yang perlu dilakukan, yaitu:
1.    Mengenali dan menyadari dimana perubahan perlu dilakukan, dan kita harus yakin dengan hak kita.
Mengisi buku diary bisa membantu kita menilai seberapa jauh kita terintimidasi, pasif, malu, atau seberapa jauh orang lain menuntut, memaksa, atau bergairah terhadap kita. Ambillah contoh, dimana kita pasif atau agresif.
Beberapa dari kita masih mempunyai kelemahan untuk berkata “tidak” terhadap sahabat yang meminta bantuan, kita tidak bisa memperlihatkan atau mendapatkan pujian, kita membiarkan pasangan atau anak kita menguasai kehidupan kita, kita tidak berani berbicara di depan lembaga ihwal ketidaksetujuan kita, kita aib meminta tolong, kita takut membuat orang lain merasa terhina, dsb. Tanyakanlah pada diri sendiri, maukah kita terus menerus dalam kelemahan ini?
Selain itu, pertimbangkan pula, “darimana nilai-nilai yang kita miliki berasal”. Pada masa kecil, kita biasa dijejali dengan aturan-aturan “jangan emosional, jangan berbuat salah, jangan mementingkan diri sendiri, jangan bilang pada orang kalau kita tidak menyukainya, jangan membantah”, dan banyak lagi hukum lain yang berlawanan dengan apa yang kita inginkan. Aturan-aturan tersebut menjadikan anak, bahkan sesudah dewasa, sebagai seorang yang selalu tunduk (submisif). Mungkin beberapa hukum tersebut ada benarnya untuk anak-anak, tetapi selaku orang dewasa, seharusnya tidak membabi buta menerapkan hukum tersebut.
Perlu pula kita sadari, betapa sikap asertif akan membawa kita menjadi seseorang yang menghargai diri sendiri dan bahagia, dan di sisi lain, betapa tidaknyamannya diri kita menjadi seorang yang submisif, misalnya: 1) kita menipu diri sendiri dan kehilangan harga diri alasannya didominasi orang lain dan tidak bisa melaksanakan perubahan, 2) kita dituntut untuk tidak jujur, menyangkal perasaan yang sebenarnya, 3) ketidaksetaraan dan submisif mengancam, bila tidak merusak, rasa cinta dan penghargaan, 4) hubungan yang terjalin dengan orang lain didasarkan pada keberadaan kita sebagai “budak”, “yes man”, “pelayan”, 5) alasannya harus menutupi perasaan yang sesungguhnya, maka kita harus selalu melaksanakan manipulasi untuk mendapatkan apa yang kita butuhkan, dan ini membuat kebencian, 6) ketundukan kita membuat penindasan terhadap kita makin menjadi-jadi.
Kesadaran ihwal kelemahan, ke-submisifan, dan ketidaknyamanan jawaban submisif akan mendorong kita untuk mau mengubah diri menjadi seorang yang asertif. Tapi tentu saja, setiap perubahan biasanya memunculkan kecemasan, dan ini harus diatasi. Kita pun harus meredam konflik dalam diri kita alasannya melawan nilai-nilai yang selama ini kita anut. Selain itu, juga perlu berbicara dengan orang lain, yang mungkin akan merasa kaget dengan perubahan sikap yang kita tampilkan. Jelaskan kepada mereka alasan  kita menjadi asertif sehingga mereka bisa memahami dan menerima, atau bahkan pada akhirnya, menghargai kita alasannya menjadi seseorang yang mempertimbangkan mereka, orang lain, dan diri sendiri.
2.    Memperhitungkan cara-cara yang sesuai untuk menyatakan diri sendiri dalam setiap situasi khusus yang berkaitan dengan diri kita.
Ada banyak cara untuk mencari respons-respons asertif yang efektif, bijaksana, dan adil. Kita bisa mengamati model/contoh yang baik, mendiskusikan situasi yang bermasalah dengan seorang teman, kolega, konselor, atau orang lain, mencatat dengan teliti bagaimana orang-orang berespons terhadap situasi yang ibarat dengan situasi yang sesungguhnya kita hadapi, kemudian mempertimbangkan apakah mereka tergolong asertif, submisif, atau agresif.  Agar respons kita asertif, maka perlu kita pahami bahwa respons-respons yang asertif terdiri atas tiga bagian, yaitu:
1)    Menjelaskan (kepada orang lain yang terlibat) situasi bermasalah sebagaimana kita melihatnya. Khususkan pada waktu dan tindakannya, bukan memperlihatkan pernyataan yang bersifat umum/ general, ibarat “Anda selalu memusuhi…… membingungkan…… sibuk”. Kita harus objektif, jangan menilai seseorang sebagai orang yang jelek secara keseluruhan. Kita juga harus memfokuskan pada perilakunya, bukan pada alasannya.
2)    Menjelaskan perasaan kita dengan memakai pernyataan “Saya” yang memperlihatkan bahwa kita memang bertanggung jawab terhadap perasaan kita sendiri. Kita harus tegar dan menguatkan diri, yakin, menatap mereka, dan tidak emosional. Juga memfokuskan pada perasaan positif yang berafiliasi dengan tujuan kita, bukan pada kebencian orang lain. Kadang-kadang bisa sangat membantu bagi kita apabila menjelaskan alasan, mengapa kita mempunyai perasaan tertentu, contohnya “Saya merasa…….. karena……….”.
3)    Menjelaskan perubahan yang ingin kita buat, mengkhususkan pada tindakan apa yang seharusnya tidak boleh dan dimulai. Kita harus meyakin diri kira bahwa perubahan yang diharapkan tersebut masuk akal,  kita pun mempertimbangkan kebutuhan orang lain, dan sebaliknya merelakan bahwa kita pun harus berubah. Kita juga harus siap dengan konsekuensi, yaitu bila orang lain ternyata berubah sesuai dengan yang kita harapkan, atau justru tidak berubah. Kita harus menjaga jangan hingga mengancam bila mereka tidak berubah sebagaimana kita inginkan.

Demikian posting ihwal Perilaku Submisif, Agresif, dan Asertif. Semoga ada manfaatnya.





= Baca Juga =



Related : Perilaku Submisif, Agresif, Dan Asertif

0 Komentar untuk "Perilaku Submisif, Agresif, Dan Asertif"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)