Rumi mengatakan, sekiranya ia tidak ada, langit dan para malaikat tidak akan mempunyai tempat; sekiranya ia tidak ada, maka bumi tidak akan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan membuatkan bunga melati
Ia dalam pembicaraan Rumi ialah sosok insan kamil atau insan tepat yang telah mencapai derajat yang paling tinggi dari kemanusiaan dan kesempurnaan dirinya dari seluruh makhluk dan mengatasi makhluk lainnya. Ia ialah insan kamil.
Pembicaraan mengenai insan kamil ialah pembicaraan yang menjadi titik tolak dalam pembicaaraan ihwal ciptaan-ciptaaan Allah Swt khususnya dalam dunia tasawuf dan filsafat Islam. Karena itu pembicaraan mengenai insal kamil pada khazanah irfan ialah sisi batin dari manusia.
Ada dua karya besar yang berbicara mengenai insan kamil. Pertama, al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakhir wa al-Awail karya Syekh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1366-1430 M) dan al-Insan al-Kamil karya Azizuddin Nasafi.
Dalam dunia tasawuf, eksistensi selain Allah ialah eksistensi yang relatif atau nisbi. Pasalnya, segala sesuatu selain Allah Swt ialah pancaran dari diri Allah Swt. Disebutkan juga dalam dunia tasawuf bahwa alam semesta ini atau segala yang berkaitan yang diciptakan oleh Allah Swt, tidak lain ialah menifestasi dari Allah Swt. La maujudan illallah dan la mahbuban illallah dan la maqshudan illallah.
Allah menandakan semua ini sebagai tanda-Nya atau ayat-Nya mirip dikatakan dalam ayat, Kami akan menunjukkan kepada mereka gejala (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, (QS 41:53)
Mengapa Allah menyampaikan semua ini sebagai tanda bagi diri-Nya? Bukanlah hal ini ialah riil-Nya. Namun, ia hanyalah sanggup mengantarkan kita kepada pemahaman sesuatu yang diisyaratkan-Nya dan sesuatu di balik dari semua ini tidak lain ialah Allah Azza wa Jalla.
Karena itu, dalam keyakinan para bakir dan sufi, apa yang muncul dari alam ini ialah wujud yang tidak nyata, hanya sebagai sebuah arahan saja. Bahkan diri dan eksistensi kita bukan disebabkan oleh dirinya, melainkan oleh sesuatu yang lain itu. Dari sinilah pembicaraan mengenai insan kamil itu muncul.
Pembicaraan mengenai insan kamil ini menjadi sesuatu penting disebabkan, pertama, orang hanya sanggup mengenai hakikat Allah yang sejati melalui pemahamannya terhadap insan kamil. Yang sebelumnya mungkin insan mengenai Allah melalui bentuk dari tanda-tanda-Nya atau ciptaan-ciptaan-Nya, bukan melalui hakikat yang diisyaratkan-Nya. Hal ini disebabkan bahwa makrifat kita belum sempurna.
Para sufi pun mengkritisi para filosof, yang berbasis pemahaman akal, dengan menyampaikan bagaimana mungkin Anda memahami cahaya Allah dengan cahaya lilin, bagaimana mungkin pemahaman makhluk ini digandengkan dengan Tuhan. Bagaimana Anda akan memahami cahaya matahari yang luar biasa melalui cahaya lilin? Anda harus membuka jendela rumah Anda dan di situ Anda akan menemukan cahaya matahari yang sesungguhnya. Anda harus mengangkat pemahaman Anda dari nalar ini dan membuka pintu hati Anda. Diriwayatkan bahwa seseorang bertanya kepada Imam Ali as, ”Bagaimana mungkin engkau menyembah Tuhan yang tidak engkau saksikan?” Imam Ali berkata, ”Bagaimana mungkin saya menyembah Dia sementara saya belum menyaksikan-Nya?”
Dalam hal ini, Imam Ali sudah mencapai derajat kesempurnaannya. Derajat kedekatan kita ditentukan oleh kedekatan kita dalam mengenal-Nya.
Yang kedua ialah kita mengenali hakikat kita yang sesungguhnya. Ke mana kita akan berjalan atau kita mempunyai tujuan dalam perjalanan hidup kita? Tujuan yang paling fundamental dari hidup kita ialah Allah Swt. Bagaimana kita bisa berjalan menuju Allah?
Posisi insan kamil ini ialah orang-orang yang sudah melaksanakan proses perjalanan itu sehingga ia bisa mengikuti-Nya. Kita selalu berdoa, ”Bimbinglah kami ke jalan yang lurus.” Jalan siapa itu? Adalah jalan orang-orang yang Kami beri kenikmatan dan mereka tidak berada dalam kesesatan.
Poin penting ketiga ialah kita bisa melihat realitas diri Muhammad, diri para nabi para rasul dan kekasih Allah dengan makna yang benar. Apakah pandangan mereka salah? Dikarenakan pandangan mereka (orang awam) selama ini ialah pandangan dalam bentuk fisiknya.
Berdasarkan tiga poin ini maka pembicaraan mengenai insan kamil ini menjadi penting. Pertama, ialah hakikat penciptaan manusia; kedua, ihwal khalifah dan hakikat insan kamil; dan ketiga, ketergantungan seluruh semesta terhadap insan kamil dalam perjalanan menuju Allah Swt.
Hakikat Penciptaaan Manusia
Bahwa Allah Swt pada hadis Qudsi berfirman, ”Aku ialah pembendaharaan yang tersembunyi dan cinta untuk dikenal, maka Aku ciptakanlah bermacam-macam ciptaan.”
Allah mengisyaratkan ihwal diri-Nya dengan kata Dia (Yang Tersembunyi), dalam ketunggalan-Nya, lantaran kecintaan diri-Nya untuk dikenal. Ibarat insan yang selalu bercermin terhadap dirinya disebabkan insan mengasihi dirinya atau sebagai dorongan cinta terhadap dirinya dan bermacam-macam pengetahuaan insan ihwal dirinya itu muncul. Keberagaman pengetahuan yang muncul dari diri-Nya inilah memunculkan keberagaman hal. Allah Swt saat memahami diri-Nya, munculnya pengetahuan ihwal diri-Nya, gres dari pengetahuan inilah, muncul alam semesta ini. Maka Allah mengatakan, ”Maka Aku ciptakan bermacam-macam ciptaaan”, gres fase atau proses ketiga muncul.
Setiap kemunculan dari diri Allah itu, maka muncullah persepsi nama Allah yang indah dan mengantarkan pada kesempurnaan. Dalam ayat disebutkan, Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kau seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) (QS 17: 110) Karena itu, bermacam-macam nama di sini, setiap nama ini memanifestasikannya ke alam semesta. Setiap alam ini menawarkan citra atau manifestasi nama Allah Swt.
Maulana Jalaluddin Rumi al-Balkhi ialah seorang bakir besar. Beliau lebih dikenal dengan Maulawi Rumi, dan merupakan sastrawan Persia era ke tujuh Hijriah. Salah satu karya masterpiece-nya ialah Matsnawi, yang isinya membahas ihwal banyak hal. Dalam buku Menapak Jalan Spiritual, Murtadha Muthahhari mengatakan, “Matsnawi merupakan samudra filsafat dan irfan, yang sarat dan penuh dengan banyak sekali hal yang pelik yang bersifat spiritual, sosial dan irfan.”
Pembahasan ihwal hakikat insan ialah salah satu bahasan khusus yang dibahas oleh Rumi dalam Matsnawinya. Memahami hakikat insan sangatlah sulit bagi sebagian dari kita. Padahal itu merupakan hakikat dirinya. Imam Khomeini pernah menyampaikan “Menjadi ulama itu simpel tapi menjadi insan itu amatlah sulit.” Dengan mengetahui esensi insan akan mengantarkan seseorang kepada pengetahuan akan Tuhan.
Allah mengungkapkan tanda keagungan dan kekuaasaan-Nya melalui alam dan dalam diri manusia. Sehingga kalau kita mengetahuinya dengan baik maka hidup kita pun akan baik. Allah berfirman : “Akan Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat (Tanda-tanda Kekuasaan) kami di ufuk (tepi langit) dan pada diri mereka sendiri. Sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran ini sesungguhnya (dari Allah). Tidakkah cukup bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas tiap-tiap sesuatu.” (QS. Al-Ankabut : 53)
Manusia ialah makhluk yang unik. Hingga sekarang fisiknya saja masih diteliti dan masih banyak diam-diam yang belum terpecahkan. Telebih lagi dari sisi jiwanya. Yang merupakan inti dari segala hal. Dalam hadis banyak disebutkan ihwal keutamaan ma’rifatun nafs ini (pengetahuan ihwal hakikat diri). Misalnya, Imam Ali berkata, “Barang siapa yang mengetahui hakikat dirinya, maka beliau telah mencapai puncak setiap makrifah dan ilmu.”, “Janganlah kalian kurang pintar dengan tidak mengetahui hakikat diri kalian, lantaran kalau kalian kurang pintar dengan itu berarti kalian kurang pintar dengan segala hal.”, “Cukuplah pengetahuan seseorang itu kalau mengetahui hakikat dirinya dan cukuplah kebodohannya kalau tidak tahu akan hakikat dirinya.”
Maulawi Rumi ialah termasuk orang yang mengetahui hakikat dirinya, sehingga beliau mencapai puncak makrifat dan keyakinan. Sebagaimana yang diutarakan dalam bait-bait syairnya. Dalam bait pertama beliau menyampaikan : “Karena itu, sementara dalam bentuk engkau ialah mikrokosmos, pada hakikatnya engkau ialah makrokosmos.”
Dari segi fisiknya, insan ialah serpihan dari makrokosmos, lantaran kita hidup di alam. Kita membutuhkan makan, kita membutuhkan air, kita perlu sayuran, kita pun perlu untuk makan daging. Apakah kebutuhan kita akan semua itu secara fitri dan tidak bisa dilepaskan hingga kapan pun ? Atau masakan hanyalah sebagai penunjang saja semoga kita bisa bertahan hidup ? Dan alam diciptakan sebagai penunjang dalam hidup insan ?
Rumi menyampaikan bahwa dalam hakikatnya manusia, (bukan fisiknya) ialah makrokosmos. Kita ialah alam lain yang lebih besar dari alam ini. Sebagaimana perkataannya Imam Ali, “Apakah kalian menerka kalian, hanya badan kecil ini,padahal kalian ialah alam yang sangat besar.”Aneh memang insan itu lebih banyak meneliti hal-hal diluar dirinya sedangkan hakikat dirinya sendiri tidak pernah diteliti, tidak pernah mencoba meneropong kedalam jiwanya. Selanjutnya Maulawi Rumi menjelaskan lebih jauh dengan sebuah perumpamaan :
“Tampaknya ranting itu daerah tumbuhnya buah padahal ranting itu tumbuh justru demi buah.”
Beliau umpamakan bahwa insan itu menyerupai buah, dan buah merupakan hasil final dan cita-cita petani penanam buah. Sedangkan alam menyerupai ranting, ranting tercipta demi buah, ranting hanyalah sebagai wasilah untuk tumbuhnya buah. Kaprikornus yang paling penting itu ialah buahnya bukan ranting atau pun pohon.
Sebagaimana sering disebutkan dalam Al-Quran bahwa alam diciptakan merupakan tanda dari kasih sayang Allah akan manusia. Agar insan bisa memanfaatkannya untuk lebih mendekatkan dirinya kepada Allah. Kaprikornus inti dari itu semua ialah alam diciptakan untuk manusia, yang harus dijadikan sebagai mediator untuk mencapai ridha Allah.
Tapi sayang berapa banyak dari insan ini yang menjadikan alam, materi, kekayaan sebagai tujuan bukannya sebagai mediator penghantar kepada Tuhan.
Dan akhir dari itu ialah penyimpangan dan keserakahan untuk mendapat kekayaan dengan memakai segala cara. Kita terkadang melebihi binatang untuk mendapat hal yang kita inginkan. Kita banyak melaksanakan penyelewengan dalam memakai alam. Yang semestinya kita gunakan untuk kemajuan kemanusiaan kita malah menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan demi menguasai alam. Sebagaimana Allah berfirman, “Apabila kami berikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan darinya (tidak berterima kasih) tapi apabila ia tertimpa kejahatan, ia (berdoa) dengan doa yang panjang.”
Tubuh kita hanyalah perantara, lantaran kita hidup di alam fisik, alam yang senantiasa bebenturan dengan materi, Rumi melanjutkan : “Kalau bukan mengharap dan menginginkan badan betapa pekebun itu akan menanam pohon.”
Pohon hanya sebagai mediator sang petani untuk mendapat buah, lantaran buah mustahil ada tanpa adanya pohon. Begitu juga hakikat insan itu tidak akan bercahaya tanpa melalui mediator badan bernafsu ini, badan harus mengikuti ruh, dan harus seiring dengan ruh,jangan hingga badan dan tuntutannya (hawa nafsu) yang mengendalikan.
Kalau kita pandang sekilas nampaknya kita serpihan dari alam, kita tidak bisa lepas dari alam, tapi kalau kita teliti dan mencoba menganalisis lebih jauh rahasia-rahasia alam maka akan nampak dan akan kita ketahui bahwa alam diciptakan untuk kita, alam berasal dari kita, alam sebagai pemandu dan pengingat kita akan keagungan dan kebesaran sang pencipta, tampaknya pohon tumbuh untuk melahirkan buah padahal pohon asalnya dari buah. “Jadi sekalipun pohon itu tampaknya yang melahirkan buah (tetapi) pada hakikatnya justru pohon itulah yang lahir dari buah.”
Maulawi belum menerangkan secara rinci akan hakikat manusia, beliau gres menerangkan bahwa kita ialah alam yang lain (makrokosmos lain) dan bukannya serpihan dari alam, lantaran alam yang ini diciptakan demi cintanya Allah pada insan sebagai bukti, pengantar dan pengingat akan kebesaran-Nya.
Hakikat insan dalam beling mata Rumi ialah debu, debu yang mengepul saat kuda lewat, debu yang mengecap sepatu kuda saat kaki kuda menginjaknya.
Debu yang diinjak kaki sang kuda akan mengecap kaki kuda lantaran tidak mungkin jikalau debu diinjak kaki kuda menjadikan tanda dan cap yang lain, bukan kaki kuda. Manusia seharusnya menjadi khalifah di alam dan bukannya perusak alam. Manusia seharusnya merupakan Tajalli (Manisfestasi) dari keagungan sifat-sifatNya. Manusia seharusnya menjadi khalifah dan duta kebesaran-Nya. Adakah insan yang mirip itu ?
Jelas ada lantaran hakikat insan yang sesungguhnya ialah mereka, mereka yang sudah mencapai maqam kedekatan kepada-Nya, merekalah orang-orang yang senantiasa menjaga bumi, menjaga kelestarian alam dan penghuninya, merekalah yang senantiasa mengingatkan kita kepada Pencipta alam yaitu Allah, merekalah para Nabi, para Imam dan para aulia Allah.
Kita harus menjadi debu di kaki-Nya. Karena seharusnya setiap individu ialah menjadi debu di kaki-Nya. Agar kita menjadi hamba-Nya yang berserah diri mirip para wali Allah, supaya kita menjadi mahkota diatas kepala raja, keagungan di atas keagungan.
“…Setiap individu ialah debu, Hanya telapak kaki kuda itu menjadi cap kaki-Nya di atas debu, jadilah debu di kaki-Nya demi cap kaki kuda itu semoga engkau sanggup menjadi Laksana mahkota di atas kepala raja.”
Namun bagaimanakah caranya untuk mengetahui hakikat diri ini, sehabis kita mengetahui bahwa kita ialah makrokosmos dan alam sebagai wasilah kemudian hakikat kita ialah debu di kaki-Nya ? Dan bagaimanakah semoga supaya hakikat diri ini senantiasa ada dan terpatri besar lengan berkuasa dalam jiwa? Sehingga kita bisa menjadi mahkota di atas kepala raja ?
Karena mungkin saja banyak yang mengetahui hakikat diri tapi sayang hanya sekedar isapan jempol belaka, lantaran makrifat ini mempunyai standar dan ciri tersendiri yang akan selalu tampak dalam perilaku dan perbuatan kita sehari-hari, kita hanya terbiasa melihat bulan yang ada di air. Kita terpaku dan terpana dengan melihat indahnya rembulan yang ada di air padahal hakikat bulan ada di langit.
Maulawi Rumi dalam perkataannya yang lain, menerangkan ihwal cara untuk mencapai makrifah diri ini, beliau menyampaikan bahwa untuk mencapai makrifah ini ialah dengan cara Taskiyatun nafs, membersihkan diri dari debu keegoisan, mensucikan diri dari lumpur kemaksiatan dan mengosongkan diri dari selain-Nya.
Senantiasa menghiasi diri dengan mengingat-Nya.menerangi jiwa dengan selalu berbuat baik, dan menanamkan asma-NYA dalam jiwa semoga tidak gelap.
Sehingga dengan terang akan terlihat jalan dan tidak pernah tersandung, jalannya akan senantiasa lurus dan tidak pernah bengkok lantaran selalu dalam sinaran-Nya.
Hanya dengan mengosongkan diri dari selain-Nya dan menghiasi jiwa dengan keagungan-Nya kita bisa tahu siapa diri ktia, apa hakikat diri kita yang sebenarnya. Kita harus senantiasa berkontemplasi semoga tahu hakikat diri kita dengan pasti. Rumi bertutur :
“Oh sucikanlah seluruh jiwamu dari debu keegoisan bebaskanlah dirimu dari sifat mementingkan diri sendiri sehingga kau lihat sendiri hakikat dirimu higienis tanpa noda, lihatlah dalam lubuk hatimu pengetahuan para nabi tanpa buku, tanpa perantara, tanpa guru.”
Itulah sosok Maulawi Rumi, Wali Allah yang telah mengetahui dirinya, telah mengosongkan dirinya dari selain-Nya, telah hingga kepada kedudukan debu di kaki-Nya. Sehingga dengan lancar dan gamblang menggambarkan kepada kita cara mengetahui dan menjadi debu di kaki-Nya. Kita sebagai insan yang tidak mengetahui kebutuhan jasadi saja harus kembali merenungi perkataan sang maulawi, semoga kita mirip dia, menjadi debu di kaki-Nya.
Akhirnya Maulawi mengungkapkan kekesalannya dengan mengungkapkan sebuah cerita, yaitu beliau merasa kesal lantaran tidak pernah bertemu dengan manusia.
Dia hanya selalu bertemu dengan hantu dan hewan-hewan yang menakutkan. Dia ingin sekali bertemu dengan manusia. Dan ingin selalu mencarinya, walau pun butuh waktu yang lama. Dia mengungkapkan kekesalannya dengan syairnya :
“Kemarin sang tuan jalan-jalan keliling kota, dan lentera di tangannya. Ia berkata, “aku bosan dengan hantu dan hewan, saya rindu bertemu manusia, hatiku jenuh melihat sobat patah semangat. Aku ingin melihat singa Tuhan rastam putra zal, mereka berkata : “kami telah mencarinya dalam waktu yang panjang ia tak ditemukan ia Menjawab, “Sesuatu yang tak ditemukan itulah yang senantiasa saya cari.”
Sumber: Majalah Syi’ar terbitan Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta
0 Komentar untuk "Konsep Insan Tepat"