Pada dasar perbicara di depan umum bukalah hal yang gampang bagi ke banyakan orang,bisa di bilang mungkin pada ketika kita diberikan kiprah untuk berbicara di depan umum sebagi seorang pemberi materi / menawarkan sambutan disuatu program yaitu hal yang sulit bagi orang yang belum terbiasa,oleh lantaran itu disini penulisakaan menawarkan tips dan trik untuk mengupas duduk masalah itu dalam tema Teknik berpidata.
Untuk mengupas duduk masalah grogi dan cara mengatasinya saya akan menggunakan dua pendekatan. Pendekatan pertama saya menggunakan pendekatan neurologisyakni bagaimana pikiran kita mencerna “keberadaan publik” (audience); dan pendekatan kedua yaitu pendekatan simpel yakni bagaimana kiat-kiat simpel menghadapi grogi. Setidaknya, dua pendekatan itu sudah saya praktikkan dalam hidup saya. Saya dulu yang pemalu luar biasa (bayangkan dulu saya tidak berani bilang “Kiri”pada ketika naik bus/angkutan umum. Takut/malu kalau banyak orang yang nengok ke arah saya). Kini saya sudah terbiasa bicara di depan publik, bahkan menjadi pembicara publik dan motivator yang dibayar.
Baik, selanjutnya saya jelaskan pendekatan pertama, kenapa secara neurologis(syaraf otak) seseorang bisa menjadi grogi. Seseorang menjadi grogi atau bahkan sebaliknya menjadi bahagia bila di depan publik itu sangat tergantung bagaimana syaraf otak merespon atau menanggapi sesuatu yang berada di luar, yaitu –dalam hal ini– audience (publik). Perilaku (grogi, takut, bahagia dan lain-lain) merupakan hasil dari respon pikiran kita. Kalau kita merespon/menanggapi sesuatu di luar yaitu sesuatuyang menakutkan, maka pikiran (syaraf) segera mengolahnya menjadi sebuah ketakutan. Sebaliknya, kalau kita meresponnya sesuatu yang menyenangkan, maka semua sel-sel dan jutaan syaraf segera mengolahnya menjadi hal yangmenyenangkan.
Lebih kongkritnya begini. Kalau Anda membayangkan jeruk nipis (sesuatu yangberada di luar Anda) terasa kecut, maka syaraf otak segera membayangkannya rasa kecut itu. Bahkan dengan hanya membayangkan saja air liur bisa keluar sebagai respon terhadapnya. Sebaliknya, kalau Anda membayangkan buah anggur yang segar, gres keluar dari kulkas, syaraf otak segera membayangkannya buah manis yang menyegarkan. Begitulah cara pikiran kita bekerja, atau meresponnya. Bila Anda menanggapinya dengan negatif maka pikiran bekerja dengan cara negatif, milyaran sel syaraf bekerja untuk memperkuat respon negatif Anda. Bila Anda meresponnya dengan cara positif, maka seluruh jaringan syaraf bekerja sekuat tenaga untuk memperkuat respon faktual Anda.
Audience (publik) bukanlah buah jeruk nispis yang kecut atau buah angguryang manis menyegarkan. Audience yaitu sesutau yang netral sifatnya.”Manis” dan “kecut”-nya, arau “menakutkan” (yang membuat Anda grogi) atau”menyenangkan” sangat tergantung bagaimana Anda meresponnya. Ketika Anda meresponnya sebagai seuatu yang “menakutkan” syaraf otak segera bekerja dengan cara yang negatif. Hasilnya mejadi negatif. Syaraf otak segera bekerja untuk menemukan sejumlah alasan negatif untuk meyakinkan bahwa audience itu “menakutkan”.
Alasan-alasan yang ditemukan oleh pikiran negatif berupa:
1) audience terlalu banyak dan banyak orang yang sudah pandai bicara, maka saya kurang pede; 2) audience akan meneriaki “huuuuuuu..?” bila saya salah;
3) audience akan mempergunjingkan saya bila saya salah;
4) saya akan aib bila apa yang saya sampaikan tidak menarik;
5) saya akan aib bila saya salah dalam bicara nanti dan;
6) masih banyak alasan negatif yang mengantarkan Anda menjadi semakin tidak percaya diri atau grogi. Hasilnya, keringat dingin keluar, gemetar, bicara tidak lancar dan salah-salah terus selama bicara. Pada ketika menyerupai itu, pikiran sibuk memikirkan audience yang “menakutkan” ketimbang memimikirkan materi yang sedang di sampaikan.
Akan menjadi berbeda akhirnya bila Anda meresponnya secara positif. Pikran Anda akan segera mencarikan sejumlah alasan faktual yang menguatkanAnda tampil lebih percaya diri. Anda akan tampil lebih percaya diri bila memandang audience sebagai:
1) sekelompok insan yang sedang menawarkan kesempatan baik pada Anda untuk bicara;
2) mereka tidak akan menghukum bila Anda keliru;
3) keliru dalam berlatih bicara yaitu hal yang masuk akal yang dialami oleh setiap orang;
4) mereka juga belum tentu mempunyai keberanian untuk bicara;
5) kalau pun ia diberi kesempatan bicara ia niscaya melaksanakan kesalahanseperti Anda;
6) dalam sejarah belum ada audience yang “mencemooh” pembicara bila dalam menyampaikannya secara santun dan;
7) ini yaitu kesempatan terbaik untuk berlatih bicara. Dengan kata lain, audiene bukan menjadi beban pikiran selama Anda bicara. Bila perlu Anda cuek-bebek (tapi sopan) selama bicara.
Ketika Anda telah mengusai audience dengan cara respon faktual sepertitersebut di atas, pikiran Anda tinggal fokus pada materi. Perlu dicatat bahwa mengapa seorang pembicara grogi lantaran pikirannya selamabicara sibuk memikirkan audiencenya yang dianggap “menakutkan”. Menakutkan atau tidaknya sangat tergantung bagaimana pikiran kita “menafsirkannya”.Bila menafsirkannya sebagai hal yang tidak menakutkan, maka pikiran akan lancar, fokus pada topik, bicara pun lancar tanpa beban grogi.
Semua yang saya jelaskan di atas yaitu mengunakan pendekatan neurologis. Selanjutnya saya menggunakan pendekatan simpel dalam mengatasi grogi. Sebelum saya menawarkan tips bagaimana cara mengatsi grogi ketika pidato perlu saya ingatkan kembali bahwa keterampilan bicara (pidato) yaitu keterampilan proses. Tidak ada orang yang pribadi menjadi hebat bicara. Semuanya diawali dari malu, gemetar dengan keringat dingin, grogi dan sejuta rasa lainnya. Jangankan bagi yang belum pernah pengalaman, seorang yang sudah pengalaman pun kadang- kadang masih dihinggapi rasa kurang pede dan grogi. Kaprikornus kalau menuggu hingga tidak ada rasa grogi, diharapkan waktu dan jam terbang yang lama. Butuh proses.
Cara-cara berikut ini yaitu cara simpel yang saya gunakan bagaimanamengatasi grogi.
1. Tingkatkan rasa percaya diri (pede). Kalau kita pede, keberanian meningkat, tetapi kalau belum apa-apa sudah takut dulu, rasa pede mengecil. Akibatnya sudah grogi dulu sebelum bicara. Untuk bisa meningkatkan rasa pede, coba sebelum Anda bicara, Anda membayangkan seorang tokoh pandai bicara yang menjadi idola Anda. Setelah membayangkan secara jelas, anggap saja ia merasuk dalam jiwa Anda yang membantu Anda pada ketika bicara. Anggap saja ia yang bicara, tapi bukan Anda.
2. Berani bicara kapan dan dimana saja bila ada kesempatan tampil didepan umum. Jangan takut salah dan takut ditertawakan, bicara dan bicaralah.Kalau Anda tidak pernah mencobanya, maka tidak pernah punya pengalaman. Jangan berpikir, benar-salah, bagus-tidak, mutu-tidak, selama bicara. Pokoknya, Anda sedang uji nyali, berani atau tidak. Ketika Anda berani mencobanya, berarti nyali Anda hebat. Semakin sering Anda lakukan, semakin berpengaruh nyalinya dan tidak takut lagi. Pokoknya Anda harus berani malu. 3. Mulailah dari kelompok kecil. Berlatihlah bicara pada kelompok-kelompok kecil dulu menyerupai karang taruna, kelompok belajar, pertemuan RT/RW. Bicaralah sebisanya dan jangan buang kesempatan. Yang menyerupai ini sudah saya lakukan, saya mulai dari kelompok belajar, panitia seminar, dan acara-acara pengajian. Lama-kelamaan saya biasa. Ingat Anda bisa lantaran biasa.
4. Tulis dulu sebagai persiapan. Sebelum bicara, alangkah baiknya ditulis dulu topik dan urutan penyampaiannya. Sebab, tanpa ditulis dulu, biasanya lupa ketika bicara dan menjadikan materinya tidak runtut.
Ada dua cara dalam menulis, menulis lengkap kemudian tinggal membaca atau tulis pokok-pokonya saja. Bila Anda menulis lengkap akan sangat membantu Anda bicara, tetapi keburukannya membosankan. Apalagi intonasi bacanya jelek.Yang baik yaitu pokok- pokok saja, kemudian Anda menguraiakannya ketika bicara, tetapi keburukannya, Anda bisa lupa ihwal datailnya.
5. Akan lebih baik kalau mempunyai kebiasaan menulis. Menulis apa saja,cerita, artikel, surat atau catatan harian. Catatan harian akan sangatmembantu. Kenapa menulis? Karena dengan menulis yaitu cara efektif untukmembuat sebuah “bangunan logika”, sebuah bangunan yang masuk akal. Bila Anda terbiasa menuliskan topik-topik yang masuk akal, maka akan membantu pada ketika bicara. Tinggal memanggil ulang saja.
6. Perbanyak membaca. Orang bicara atau menulis, tidak lepas dari kegiatan membaca. Dengan banyak membaca menjadi banyak pengetetahuan yang sanggup dijadikan teladan pada ketika bicara atau menulis. Kebuntuan dalam bicara terjadi lantaran tidak saja grogi tetepi juga lantaran terbatasnya acuan(informasi) yang dimilikinya.
7. Janganlah menjadi pendiam ketika ada diskusi atau debat. Bicaralah, jangan pikirkan Anda menang atau kalah dalam berdebat, tetapijadikannlah media debat menjadi media pembelajaran dalam mengasahketerampilan bicara. Juga, biasakanlah berdsiskusi, jangan hanya menjadi pendengar yang baik (diam saja) tapi Anda harus menjadi pembicara yang baik.
8. Rajin mengevaluasi diri sehabis bicara. Karena berbicara merupakan keterampilan proses, maka sebaiknya rajin mengevaluasi diri setiap ketika sehabis bicara. Seringkali (pengalaman saya) saya merasa tidak puas dengan hasil selesai bicara. Selalu ada saja kekurangannya, banyak topik yang lupa tidak tersampaikan. Kekurangan ini harus menjadi catatan untuk tampil lebih baik pada kesempatan mendatang.
9. Komitmen untuk terus berlatih. Tiada sukses tanpa latihan terus menerus. Tiada juara tanpa banyak latihan. Tiada bicara tanpa grogi bila hanya tampil (berlatih) satu atau dua kali saja. Bicaralah ketika adakesempatan bicara, lantaran keterampilan berbicara hanya sanggup diperoleh dengan “berbicara” bukan dengan cara “belajar tentang”. Satu ons praktik bicara lebih baik dari pada satu ton teori berbicara. Selamat mencoba.
CARA BERDEKLAMASI
Seperti telah dijelaskan bahawa berdeklamasi itu membawakan pantun, syair dan sajak atau puisi. Kemudian apakah cukup hanya asal membawakan sahaja? Tentu tidak! Berdeklamasi, selain kita mengucapkan sesuatu, haruslah pula memenuhi syarat-syarat lainnya. Apakah syarat-syarat itu? Sebelum kita berdeklamasi, kita harus menentukan dulu pantun, syair, sajak apa, yang rasanya baik untuk dideklamasikan. Terserah kepada impian masing-masing.
Yang penting pilihlah sajak atau puisi, pantun atau syair yang mempunyai isi yang baik dan bentuk yang indah dideklamasikan. Mengenai hal isi tentunya sanggup minta nasihat, petunjuk dan bimbingan daripada mereka yang lebih berpengalaman dan berpengetahuan atau hebat dalam bidang deklamasi.
Kalau kita sudah menentukan sebuah puisi misalnya, tentu saja boleh lebih dari sebuah. Hal ini sering terjadi dalam sayembara yang dikira harus terdiri puisi wajib dan puisi pilihan. Nah, sehabis itu, kemudian apa lagi yang harus kita perbuat? Maka dihentikan tidak harus mentafsirnya terlebih dahulu. MENAFSIR PUISI
Apakah puisi yang kita pilih itu berunsur kepahlawanan, keberanian, kesedihan, kemarahan, kesenangan, kebanggaan dan lain-lain? Kalau puisi yang kita pilih itu mengandung kepahlawanan, keberanian dan kegagahan, maka kitapun harus mendeklamasikan puisi tersebut dengan perasaan dan laris perbuatan, yang memperlihatkan seorang pahlawan, seorang yang gagah berani. Kita harus sanggup melukiskan kepada orang lain, bagaimana kehebatan dan kegagahan kapal udara itu. Bagaimana harus mngucapkan kata-kata yang angker dan menakutkan.
Sebaliknya kalau saja puisi yang kita pilih itu mengadung kesedihan, sewaktu kita berdeklamasi haruslah betul-betul dalam suasana yang murung dan memilukan, bahkan harus bisa membuat orang menangis bagi orang yang mendengar dan melihat kita sedih, ketika dideklamasikan menjadi sebuah puisi yang gembira, bersukaria atau sebaliknya. Tentu saja hal-hal menyerupai itu harus dijaga benar-benar. Kerana itu, harus berhati-hati, teliti, damai dan sungguh-sungguh dalam menafsir sebuah puisi.
Bacalah seluruh puisi itu berulang-ulang hingga kita mengerti betul apa-apa yang dikandung dan dimaksud oleh puisi tersebut. Juga kata-kata yang sukar dan gejala baca yang kurang terang harus difahami benar-benar, Jika sudah dimengerti dan diselami isi puisi itu, barulah kita meningkat ke soal yang lebih lanjut.
MEMPELAJARI ISI UNTUK MENDEKLAMASI PUISI
Cara mengucapkan puisi itu tak boleh seenaknya saja, tapi harus tunduk kepada aturan-aturannya: di mana harus ditekankan atau dipercepatkan, di mana harus dikeraskan, harus berhenti, dimana harus dilambatkan atau dilunakkan, di mana harus diucapkan biasa dan sebagainya. Jadi, bila kita mendeklamasikan puisi itu harus biar menarik, maka harus digunakan gejala tersendiri:
——- Diucapkan biasa saja
/ Berhenti sebentar untuk bernafas/biasanya pada koma atau di tengah baris
// Berhenti agak lama/biasanya koma di selesai baris yang masih bekerjasama artinya dengan baris berikutnya
/// Berhenti usang sekali biasanya pada titik baris terakhir atau pada penghabis san puisi
^ Suara perlahan sekali menyerupai berbisik
^^ Suara perlahan sahaja
^^^ Suara keras sekali menyerupai berteriak
V Tekanan kata pendek sekali
VV Tekanan kata agak pendek
VVV Tekan kata agak panjang
VVVV Tekan kata agak panjang sekali
____/ Tekanan bunyi meninggi
____ Tekanan bunyi agak merendah
\
Cara meletakkan gejala tersebut pada setiap kata masing-masing orang berbeda tergantung kepada kemahuannya sendiri-sendiri. Dari sinilah kita sanggup menilai: siapa orang yang mahir dan berakal berdeklamasi.
Demikianlah, setelah gejala itu kita letakkan dengan baik dan dalam meletakkannya jangan asal meletakkan saja, tapi harus menggunakan perasaan dan pertimbangan, menyerupai halnya kalau kita membaca berita: ada koma, ada titik, tanda-tandanya, titik koma dan lain-lain.
Kalau gejala itu sudah diletakkan dengan baik, barulah kita baca puisi tersebut berulang-ulang sesuai dengan irama dan aturan tanda itu. Dengan sendirinya kalau kita sudah lancar benar, tekanan-tekanan, irama-irama dan gayanya takkan terlupa lagi selama kita berdeklamasi.
PUISI HARUS DIHAFAL
Mendeklamasi itu ialah membawakan puisi yang dihafal. Memang ada juga orang berdeklamasi puisi di atas kertas saja. Cara menyerupai itu kurang lezat kecuali jikalau untuk siaran pembacaan puisi di radio atau rakaman. Tetapi deklamasi itu selalu saja didengar dan ditonton orang. Mana mungkin para penonton akan senang, melihat kita berdeklamasi kalau muka kita tertunduk melulu terus menerus kala mendeklamasikan puisi itu. Tentu saja membosankan bukan?
Makanya sebaik mungkin deklamator harus menghafal puisi yang mahu dideklamasi itu. Caranya ulangilah puisi itu berkali-kali tanpa mempergunakan teks, alasannya jikalau tidak demikian di ketika kita telah naik pentas, kata-kata dalam puisi itu tak teringat atau terputus-putus.
Betapa lucunya seorang deklamator, ketika dengan gaya yang sudah cukup menarik di atas panggung, di muka penonton yang ramai, tiba-tiba ia lupa pada kalimat-kalimat dalam puisi. Ia menyerupai terhenti, terpukau, mau bersuara tak tentu apa yang harus diucapkan. Mau mengingat-ingat secara khusuk terlalu lama. Menyaksikan keadaan demikian itu sudah tentu para penonton akan kecewa. Bagi sideklamator sendiri akan menerima malu. Oleh kerana itu dihafalkanlah puisi itu sebaik-baiknya hingga terasa lancar sekali. Setelah dirasakan yakin, bahawa sebuah puisi telah sanggup dibaca di luar kepala, barulah berlatih mempergunakan mimik atau “action”
Cara menghafal tentu saja dengan cara mengingatnya sebaris demi sebaris dan kemudian serangkap demi serangkap disamping berusaha untuk mengerti setiap kata/ayat yang dicatatkan kerana hal itu menjadi jelasnya maksud dan tujuan isi puisi itu. DEKLAMASI
BUKAN UCAPAN SEMATA
Deklamasi bukan ucapan semata. Deklamasi harus disertai gerak-gerak muka, kalau perlu dengan gerak seluruh anggota tubuh atau seluruh tubuh, tetapi yang paling penting sekali ialah gerak-gerak muka. Dengan ucapan-ucapan yang baik dan teratur, diserta dengan gerak geri muka nescaya akan bertambah menarik, apa lagi kalau ditonton. Dari gerak geri muka itu penonton sanggup mencicipi dan menyaksikan mengertikan puisi yang dideklamasikan itu. Apakah puisi itu mengandung kesedihan, kemarahan, kegembiraan dan lain-lain.
Hanya saja dalam melaksanakan gerak geri itu jangan hingga berlebih-lebihan menyerupai wayang orang yang bergerak ke sana ke mari, sehingga mengelikan sekali. Berdeklamasi secara wajar, tertib dan mengesankan.
CARA MENGHAKIMI
Untuk mudahnya bagi seorang deklamator/deklamatris melengkapi dirinya dalam mempersiapkan kesempurnaan berdeklamasi, maka seorang calon harus mengetahui pula hal-hal yang menjadi penilaian hakim dalam suatu sayembara deklamasi. Yang menjadi penilaian hakim terhadap pembawa puisi atau deklamator mencakup bidang-bidang menyerupai berikut: A.
PENAMPILAN/PERFORMANCE
Sewaktu pembawa puisi itu muncul di atas pentas, haruslah diperhatikan lebih dahulu hal pakaian yang dikenakannya. Kerapian menggunakan pakaian, keserasian warna dan sebagainya akan menambahkan angka bagi si pembawa puisi. Tentu saja penilaian pakaian ini bukan terletak pada segi glamor tidaknya pakaian itu, tetapi dalam hal kepantasan serta keserasiannya. Kerana itu, perhatikanlah pakaian lebih dahulu sebelum tampil di atas pentas. Hindarikan diri dari kecerobohan serta ketidakrapian berdandan.
B. INTONASI/TEKANAN KATA DEMI KATA
Baris demi baris dalam puisi, sudah tentu tidak sama cara menawarkan tekanannya. Ini bergantung kepada kesanggupan dipembawa puisi menafsirkan tiap-tiap kata dalam hubungannya dengan kata lainnya. Sehingga ia menjadikan suatu pengungkapan isi kalimat yang tepat. Kesanggupan sipembawa puisi menawarkan tekanan-tekanan yang sesuai pada tiap kata yang membuat lagi kalimat pada baris-baris puisi, akan memudahkan mencapai angka tertinggi dalam segi intonasi.
C. EKSPRESI/KESAN WAJAH
Kemampuan sipembawa puisi dalam menemukan erti dan tafsiran yang tepat dari kata demi kata pada tiap baris kemudian pada kelompok bait demi bait puisi akan terlihat pada kesan air muka atau wajahnya sendiri. Ada kalanya seorang pembawa puisi tidak menghayati isi dan jiwa tiap baris puisi dalam sebuah bait, sehingga antara kalimat yang diucapkan dan airmuka yang diperlihatkan tampak saling bertentangan.
Jadi, penghayatan itu sangat penting dan ia harus dipancarkan pada sinar wajah si pembawa puisi. Misalnya sebuah bait dalam puisi yang bernada murung haruslah digambarkan oleh sipembawa puisi itu melalui airmukanya yang murung dan bermuram durja. D.
APRESIASI/PENGERTIAN PUISI
Seorang pembawa puisi akan dinilai mempunyai pengertian terhadap sesuatu puisi, manakala ia sanggup mengucapkan kata demi kata pada tiap baris puisi disertai kesan yang terlihat pada airmukanya. Jika tidak berhasil, dikatakannya sipembawa puisi itu belum mempunyai apresiasi atau apresiasinya terhadap puisi itu agak kurang. Dalam istilah umumnya apresiasi diterjemah lebih jauh lagi sebagai penghayatan.
Seorang pendeklamator yang baik/ia harus menghayati makna dan isi puisi yang mahu dideklamasikan dan tanpa menghayatinya, maka sudah tentu persembahannya bakal hambar, lesu dan tak bertenaga.
E. MIMIK/ACTION
Mimik atau action dalam sebuah deklamasi puisi sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan suasana pembacaan puisi. Seorang pembawa puisi yang berhasil ia akan mengemukan sesuatu action atau mimik itu sesuai dengan perkembangan kata demi kata dalam tiap baris dan tidak bertentangan dengan jiwa dan isi kata-kata kalimat dalam puisi.
Terjadinya pertentangan antara apresiasi dan action menjadikan kesan yang mungkin bisa menjadi materi tertawaan penonton, Hal ini harus dipelajari sebaik-baiknya oleh sipembawa puisi. Tanpa hal itu, ia tak mungkin bisa mndapatkan angka terbaik dalam pembawaan puisi.
Sebagi contoh: ketika dipembawa sajak menyebut “dilangit tinggi ada bulan” tetapi mimik kedua belah tangan menjurus ke bumi, Hal ini akan menjadikan materi tertawaan bagi penonton, mana mungkin ada bulan di bumi, tentu hal itu mustahil sama sekali. Betapapun bulan selalu ada di langit. Inilah yang dimaksud betapa pentingnya pembawa sajak menguasai apresiasi puisi, sehingga sanggup membuat mimik yang sesuai dengan keadaan isi dan jiwa puisi itu..
0 Komentar untuk "Teknik Berpidato"