Tahukah Anda kapan sastra muncul atau lahir di Indonesia? Jenis sastra ibarat apa yang pertama ada di Indonesia? Dalam pelajaran ini, Anda akan mempelajari sejarah sastra yang ada di Indonesia. Menurut zamannya, sastra sanggup dikelompokkan ke dalam beberapa periodesasi sastra. Periodesasi sastra yaitu pembagian sastra dalam beberapa periode atau beberapa zaman.
Penggolongan suatu karya sastra ke dalam suatu periode tertentu, tentu harus didasarkan oleh ciri-ciri tertentu. Setiap periode/angkatan sastra mempunyai ciri yang berbeda. Ciri khas sastra setiap periode/angkatan merupakan citra dari masyarakatnya lantaran sastra merupakan hasil dari masyarakatnya. Jika masyarakat berubah, sastranyapun akan berubah. Berdasarkan pendapat itu, terjadilah penggolongan sastra atau periodisasi sastra ibarat berikut.
1. Sastra Indonesia Lama (Sebelum Tahun 1920)
Kesusastraan usang yaitu kesusastraan yang lahir sebelum Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Kesusastraan usang lahir sekitar tahun 1500, sehabis agama Islam masuk ke Indonesia hingga periode XIX.
Kesusastraan Melayu pada waktu itu masih bersifat dongeng lisan dari lisan ke mulut, belum berbentuk goresan pena atau huruf. Orang yang bercerita dan berpantun disebut pawang. Pawang dianggap sebagai buku kesusastraan. Pawang berjasa menerapkan kesusastraan kepada rakyat lantaran rakyat pada waktu itu, belum sanggup membaca dan menulis. Rakyat sanggup mengetahui kesusastraan bila menghadiri pertunjukan yang dilakukan oleh para pawang di tempat Melayu.
Ciri-ciri kesusastraan usang yaitu bahasanya masih memakai bahasa baku yang kaku, ceritanya masih berkisar wacana dewa-dewa, raksasa, atau dongeng yang muluk-muluk, contohnya menceritakan putri yang manis jelita serta istana yang indah, atau dongeng wacana pengembaraan seorang putra raja.
Setelah agama Hindu dan Islam masuk ke Indonesia, gres kesusastraan ini ditulis dalam bentuk buku.
Kesusastraan usang yang orisinil sanggup dibagi menjadi tiga bagian.
1. Cerita yang hidup dalam masyarakat, contohnya Lebai Malang, Pak Belalang, Pak Kadok, dan Si Makbul.
2. Sejarah usang yang bersifat nasional, contohnya Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Hikayat Raja-Raja Aceh, dan Silsilah Bugis.
3. Pelipur lara, contohnya Hikayat si Miskin, Hikayat Mashudul Hak, Hikayat Malin Deman, Hikayat Awang Sulung Merah Muda, dan Cerita si Umbut.
Sastra usang Indonesia, selain mempunyai sastra orisinil juga mempunyai sastra yang bukan asli. Artinya, sastra yang sudah mendapat dampak luar, contohnya mendapat dampak dongeng Jawa, di antaranya Hikayat Panji Semirang, Hikayat Cekel Weneng Pati, Jaran Resmi, dan Damar Wulan. Selanjutnya, sastra usang Indonesia mendapat dampak Hindu dan Arab Parsi.
Sastra Indonesia yang dipengaruhi agama Hindu, contohnya Mahabarata, Ramayana, dan Panca Tantra. Dalam bahasa Indonesia, ketiga buku itu berudul Sri Rama, Walmiki, Kekawin, Serat Kanda, Keling, dan Tambak. Pengaruh Arab Parsi dalam sastra usang Indonesia terlihat dalam karya-karya mengenai ketatanegaraan, contohnya buku Tajussa Latin (Mahkota Raja-Raja), Bustanussalatin (Taman Raja-Raja), Lukmanul Hakim, dan Abunawas. Selain itu karya usang terlihat dalam roman sejarah, contohnya Iskandar Zulkarnaen, Amir Hamzah, dan Muh. Ali Hanafiah. Selanutnya, karya usang terlihat dalam bentuk didaktik, contohnya Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Bakhtiar (Gulam), dan Cerita 1001 Malam.
Selain sastra berbentuk prosa juga ada sastra yang berbentuk puisi. Sastra usang dalam bentuk puisi di antaranya pantun, mantra, bidal, carmina, syair, gurindam, talibun, gurindam, syair masnawi, bait, rubai, kithah, gosali, dan nazam.
Syair berasal dari bahasa Arab, gurindam dari bahasa Tamil. Seloka berasal dari bahasa Sanskerta. Adapun mantra, bidal, dan pantun merupakan sastra usang orisinil Indonesia. Jenis puisi lainnya yaitu masnawi, bait, rubai, khithah, gosali, gajal, dan nazam diambil dari bahasa atau sastra Arab Parsi. Pujangga-pujangga yang populer penggubah syair yaitu Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Hamzah Pansuri, dan Raja Ali Haji.
Puisi yang berasal dari Barat yaitu soneta. Soneta berasal dari bahasa Italia yang terbentuk dari kata lain sono, berarti bunyi atau suara. Soneta lahir pada pertengahan periode ke-13 di Kota Florence. Dari Italia, soneta menyebar ke seluruh Eropa terutama ke Eropa Barat, di antaranya Inggris dan Belanda. Kira-kira periode ke-20, soneta itu dibawa ke Indonesia oleh pemuda-pemuda yang bersekolah di Belanda. Adapun penggerak pujangga soneta Indonesia yaitu Muhamad Yamin, Y.E. Tatengkeng, Rustam Efendi, Intoyo, dan Sutan Takdir Alisjahbana.
2. Sastra Indonesia Masa Kebangkitan (1920–1942)
Perkembangan bahasa dan sastra Indonesia mulai berkembang sejalan dengan gerak bangsa yang memilikinya. Pembentukan sastra Indonesia mulai tampak dengan berdirinya gerakan nasional yang dipimpin oleh Budi Utomo (1908). Dari sini, timbullah sastra gres yang dipancarkan oleh masyarakat gres pula. Pada masa itu, keadaannya lebih dinamis dan dikuasai oleh dunia percetakan serta merupakan alam kebebasan individu. Dalam masa ini, nama pengarangnya lebih menonjol, begitu pula hasil karyanya. Hasil karyanya lebih banyak sehingga lebih memungkinkan setiap orang sanggup menikmati karya para pengarangnya.
Kebangkitan ini (1920–1942) dikelompokkan menjadi beberap periode.
a. Periode 1920 atau Masa Balai Pustaka
Pada tahun 1908, pemerintah Belanda mendirikan forum bacaan rakyat yang berjulukan vollectuur dengan ketuanya Dr. G.A.J. Hajeu. Lembaga bacaan rakyat bertugas menentukan karangan-karangan yang baik untuk diterbitkan sebagai materi bacaan rakyat. Pada tahun1917, forum bacaan itu diubah menjadi Balai Pustaka dan yang menjadi redakturnya yaitu para penulis/pengarang serta para hebat bahasa Melayu.
Balai Pustaka bersedia menerbitkan buku-buku karya sastrawan Indonesia. Akan tetapi, semoga sanggup diterbitkan, dengan syarat-syarat. Misalnya, karangan itu dihentikan mengandung unsur-unsur yang menentang pemerintah. Tidak boleh menyinggung perasaan golongan tertentu dalam masyarakat; dan harus bebas/netral dari agama. Kedudukan Balai Pustaka semakin besar, walaupun kebebasan para pengarang “di belakang”. Akan tetapi, di lain pihak, para pengarang diberi jalan untuk mengarang lebih baik sehingga talenta mereka terpupuk. Masyarakat diberi kebebasan untuk menikmati buku-buku terbitan. Dalam hal ini jadinya pengetahuan masyarakat bertambah. Namun, sehabis adanya nota Rinkes, pengarang tidak diberi kebebasan untuk menulis; beberapa buku disensor; begitu pula karangan orisinil bangsa Indonesia banyak yang diubah.
Buku-buku karya sastra yang sempat terbit pada masa Balai Pustak, di antaranya:
1) Azab dan Sengsara, Si Jamin dan Si Johan, dan Binasa lantaran Gadis Priangan karya Merari Siregar;
2) Siti Nurbaya, Anak dan Kemenakan, Pulau Sumbawa, dan Lahami karya Abdul Muis;
3) Salah Asuhan, Pertemuan Jodoh, Surapati, dan Robert Anak Surapati karya Abdul Muis;
4) Hulubalang Raja, Katak Hendak Menjadi Lembu, Salah Pilih, Cobaan, Karena Mertua, Mutiara, Apa Dayaku lantaran Aku Perempuan, Cinta Tanah Air, Neraka Dunia, Pengalaman Masa Kecil, dan Korban lantaran Percintaan karya Nur St. Iskandar;
5) Darah Muda dan Asmarajaya karya Jamaludin/Adinegoro;
6) Di Bawah Lindungan Ka’bah, Karena Fitnah, Merantau ke Deli, Tuan Direktur, Terusir, Keadilan Ilahi, Tenggelamnya Kapal van Der Wijck, Lembaga Hidup, Revolusi Agama, Ayahku, Adat Minangkabau, Negara Islam, Empat Bulan di Amerika, dan Kenang-Kenangan Hidup Menghadapi Revolusi karya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah).
7) Kalau Tak Untung dan Pengaruh Keadaan karya Selasih/Sariamin/Seleguri;
Kawan Bergelut, Percobaan Setia, Pandangan dalam Dunia Anak-anak, Kasih Tak Terlerai, Mencari Pencuri Anak Perawan, dan Tebusan Darah karya Suman Hasibuan;
9) Teman Duduk, Muda Teruna, Berebut Uang Satu Milyun, Pengalaman di Tanah Irak, dan Kehilafan Hakim karya Mohamad Kasim;
10) Si Dul Anak Betawi, Pertolongan Dukun, Si Cebol Merindukan Bulan, dan Desa/Cita-cita Mustafa karya Aman Datuk Majoindo;
11) Sengsara Membawa Nikmat, Tidak Membalas Guna, dan Memutuskan Pertalian karya Tulis St. Sati.
Pada awalnya, pengarang Balai Pustaka didominasi oleh orang Sumatra. Akan tetapi, sehabis Sumpah Pemuda tahun 1928, muncul pengarang-pengarang dari daerah. Salah satu ikrar Sumpah Pemuda yaitu menunjunjung tinggi bahasa Indonesia. Dengan diresmikannya bahasa Indonesia menjadi bahasa Nusantara di Indonesia, bermunculan pengarang-pengarang dari pulau-pulau lainnya. Nama-nama mereka yaitu sebagai berikut.
1) A.A. Panji Tisna atau I. Gusti Panji Tisna dari Bali. Karyanya I Swasta Setahun di Bedahulu; Sukreni Gadis Bali; Ni Rawit Ceti Penjual Orang; Dewi Karuna; dan I Made Widiadi;
2) M.R. Dayoh dari Minahasa Sulawesi Utara, karyanya Syair untuk ASIB; Pahlawan Minahasa, Putra Budiman; dan Peperangan Orang Minahasa dengan Orang Spanyol;
3) Paulus Supit dari Minahasa Sulawesi Utara, karyanya Kasih Ibu;
4) L. Wairata dari Seram Maluku karyanya Cinta dan Kewajiban
5) Haji Oeng Muntu dari Sulawesi Selatan. Karyanya Pembalasan dan Karena Kerendahan Budi;
6) Sutomo Johar Arifin dari Jawa karyanya Andang Teruna.
b. Periode 1993 (Pujangga Baru)
Pada masa ini, Belanda banyak mengeluarkan peraturan yang terutama pembatasan dalam karangan-karaangan yang ditulis orang Indonesia. Hal ini Belanda merasa takut disebabkan oleh bangsa Indonesia bangun untuk usaha kemerdekaan. Selama ini, sudah tampak gejala-gejala adanya rasa nasionalisme yang disebabkan oleh karya sastra yang berbau politik yang mengakibatkan semangat perjuangan. Karya sastra yang berisi pendidikan telah bisa mencerdaskan masyarakat pribumi.
Dengan semangat yang gigih, bangsa Indonesia, khususnya para pengarang secara diam-diam, mendirikan organisasi gres yang diberi nama Pujangga Baru. Nama itu diambil dari nama majalah yang mereka terbitkan pada tanggal 29 juli 1933. Penerbitan majalah Pujangga Baru itu dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Sanusi Pane.
Hasil karya dan pengarang Angkatan Pujangga Baru yaitu sebagai berikut.
1) Bentuk puisi, di antaranya:
a) Rindu Dendam karya Y.E. Tatengkeng (1934);
b) Tebaran Mega karya Sutan Takdir Alisjahbana (1936);
c) Nyanyi Sunyi karya Amir Hamzah (1937);
d) Jiwa Berjiwa karya Armijn Pane (1939);
e) Gamelan Jiwa karya Armijn Pane (1940);
f) Buah Rindu karya Amir Hamzah (1941).
2) Bentuk prosa, di antaranya:
a) Tak Putus Dirundung Malang karya Sutan Takdir Alisjahbana (1929);
b) Dian yang Tak Kunjung Padam karya Sutan Takdir Alisjahbana 1932;
c) Mencari Pencuri Anak Perawan karya Suman Hasibuan (1932);
d) Pertemuan Jodoh karya Abdul Muis (1933);
e) Kalau Tak Untung karya Selasih (1933);
f) Kehilangan Mestika karya Hamidah (1935);
g) Bergelimang Dosa karya A. Damhuri (1935);
h) Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana (1936);
i) Sukreni Gadis Bali karya I. Panji Tisna (1938);
j) Neraka Dunia karya Sutan Iskandar (1937);
k) Lenggang Kencana karya Armijn Pane (1937);
l) Di Bawah Lindungan Kabah karya HAMKA (1938);
m) Tenggelamnya Kapal van Der Wijck karya HAMKA (1938)
n) Belenggu karya Armijn Pane (1940);
o) Andang Teruna karya S.D. Arifin (1941);
p) Anak Perawan di Sarang Penyamun karya Sutan Takdir Alisjahbana (1941).
c. Periode 1942 (Zaman Jepang)
Karya sastra pada masa ini sanggup dibedakan atas dua kelompok. Kelompok pertama yaitu karya sastra dan pengarangnya yang resmi berada di bawah naungan Pusat Kebudayaan Jepang. Mereka menulis sesuai dengan batas-batas yang ditentukan oleh Pusat Kebudayaan Jepang. kelompok kedua yaitu kelompok yang tidak mau berkompromi dengan Pusat Kebudayaan Jepang. Akan tetapi, mereka mencari jalan gres untuk menyampaikan sesuatu. Cara yang mereka lakukan diupayakan tidak berbahaya, tetapi impian terlaksana. Melalui cara ini, banyak karya sastra yang bersifat simbolik.
Pengarang-pengarang dan karya-karyanya yang timbul pada masa Jepang ini adalah:
1) Usmar Ismail karyanya Kita Berjuang, Diserang Rasa Merdeka, Api, Citra, dan Liburan Seniman;
2) Rosihan Anwar karyanya berupa puisi yang berjudul Lukisan kepada Prajurit;
3) Maria Amin karyanya Tinjaulah Dunia Sana, Dengarlah Keluhan Pohon Mangga, dan Penuh Rahasia.
3. Sastra Indonesia Masa Perkembangan (1945–Sekarang)
Pada masa ini, Indonesia sudah merdeka sehingga tidak bergantung lagi kepada bangsa lain. Situasi ini tentunya kuat terhadap perkembangan karya sastra pada masa itu.
a. Periode 1945
Pengarang yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia merdeka pada waktu itu yaitu Chairil Anwar, Idrus, Asrul Sani, Usmar Ismail dan lain-lain. Rosihan Anwar menunjukkan nama kepada mereka sebagai pengarang Angkatan ’45. Penamaan ini dimuat dalam majalah Siasat. Sastrawan yang menjadi penggerak dalam bidang puisi pada periode ini ialah Chairil Anwar. Adapun penggerak dalam bidang prosa yaitu Idrus.
Karya sastra Angkatan ’45 mempunyai ciri-ciri tertentu, contohnya bentuknya agak bebas dan isinya menampilkan suatu realita. Pujangga yang karyanya menjadi penghubung dalam masa ini yaitu Armijn Pane dan El Hakim.
Karya-karya Angkatan ’45 dipengaruhi pujangga-pujangga Belanda dan dunia, contohnya Rusia, Italia, Prancis, dan Amerika. Karya sastra dan pengarang Angkatan ’45, di antaranya:
1) Chairil Anwar karyanya Kerikil Tajam, dan Deru Campur Debu;
2) Idrus karyanya Surabaya dan Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma;
3) Asrul Sani karyanya Tiga Menguak Takdir, bentuk cerpennya: Panen, Bola Lampu; Museum; Perumahan bagi Fadrija Navari, Si Penyair Belum Pulang, Sahabat Saya Cordiza, Beri Aku Rumah, Surat dari Ibu, Elang Laut, dan Orang dalam Perahu;
4) Usmar Ismail karyanya Permintaan Terakhir (cerpen), Asoka Mala Dewi (cerpen), Puntung Berasap (kumpulan sajak), Sedih dan Gembira (kumpulan drama), Mutiara dari Nusa Laut (drama), Tempat yang Kosong, Mekar Melati, Pesanku (sandiwara radio), dan Ayahku Pulang (sandiwara saduran).
b. Periode 1950
Periode ini merupakan kelanjutan dari Angkatan ‘45 dengan ciri-ciri sebagai berikut.
1) Pusat aktivitas sastra telah meluas ke seluruh pelosok Indonesia tidak hanya terpusat di Jakarta atau Yogyakarta;
2) Kebudayaan tempat lebih banyak diungkapkan demi mencapai perwujudan sastra nasional Indonesia;
3) Nilai keindahan dalam sastra tidak lagi didasarkan pada kekuasaan asing, tetapi kepada peleburan antara ilmu dan pengetahuan absurd menurut perasaan dan ukuran nasional.
Pengarang yang dimasukkan ke dalam periode ini, adalah:
1) Toto Sudarto Bachtiar karyanya Suara (kumpulan sajak) (1950–1955) dan Etsa (1958);
2) Ajip Rosidi karyanya Tahun-Tahun Kematian (1955), Di Tengah Keluarga (1956), Sebuah Rumah buat Hari Tua (1957), Perjalanan Penganten (1958), Pesta (kumpulan sajak) (1956), Ketemu di Jalan (1956), Cari Muatan (1959), dan Tinjauan wacana Cerita Pendek Indonesia (1959);
3) Trisnoyuwono karyanya Laki-laki dan Mesiu (1959) serta Angin Laut (1958).
c. Periode 1966
Ada dua kejadian yang penting di Indonesia, yakni kejadian 1945 dan kejadian 1966. Peristiwa 1945 merupakan momentumnya kemerdekaan. Hal sebagaimana dilontarkan penyair Chairil Anwar yang berontak terhadap penjajahan Jepang pada 1943. Ia melahirkan puisi yang berisi semangat saya ini hewan jalang, dari kumpulannya terbuang. Adapun kejadian 1966 momentumnya menegakkan keadilan.
Beberapa pengarang Angakatan ‘66 dan karyanya yaitu sebagai berikut:
1) Mohamad Ali karyanya 58 Tragedi, Siksa dan Bayangan; Persetujuan dengan Iblis, Kubur Tak Bertanda, serta Hitam atas Putih;
2) Toto Sudarto Bahtiar karyanya Suara dan Etsa;
3) Alexander Leo karyanya Orang yang Kembali;
4) Nh. Dini karyanya Dua Dunia; Hati yang Damai; dan Pada Sebuah Kapal.
4. Karya yang Mendapatkan Penghargaan
Dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia, ada sejumlah karya sastra pernah mendapat penghargaan. Beberapa penghargaan sastra di antaranya Sastra Nasional BMKN, Hadiah Sastra Yamin, dan hadiah tahunan pemerintah.
BMKN yaitu kependekan dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Lembaga ini pernah menunjukkan hadiah kepada sastrawan Indonesia yang menghasilkan karya sastra bermutu. Beberapa karya dan pengarang yang pernah mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN antara lain: Jalan Tak Ada Ujung (novel, Mochtar Lubis, 1953), Laki-Laki dan Mesiu (cerpen, Trisnoyuwono, 1960), Tjerita dari Blora (cerpen, Pramoedya Ananta Toer, 1953), Perempuan (kumpulan cerpen, Mochtar Lubis, 1956), Pulang (novel, Toha Mochtar, 1960), Tandus (kumpulan puisi, S. Rukiah, 1953), Priangan si Jelita (puisi, Ramadhan K.H., 1960), Titik-Titik Hitam (drama, Nasyah Djamin, 1960), Saat yang Genting (drama, Utuy Tatang Sontani, 1960), Merah Semua Merah (drama, Mh. Rustandi Kartakusumah, 1960).
Pada 1964, Yayasan Yamin menunjukkan penghargaan kepada orang Indonesia yang berhasil pada 1963 dalam bidang sastra. Sastrawan yang penah mendapat penghargaan Hadiah Sastra Yamin: Pagar Kawat Berduri (Trisnoyuwono), Daerah Tak Bertuan (Toha Mochtar), Orang-Orang Baru dari Banten Selatan (Pramoedya Ananta Toer), dan Mereka Akan Bangkit (Bur Rasuanto, tetapi ia menolak hadiah tersebut).
Sejak tahun 1969, pemerintah Republik Indonesia juga menunjukkan penghargaan kepada seniman dan ilmuwan yang dianggap berjasa. Di bidang sastra, karya sastra yang pernah mendapat penghargaan, antara lain: Siti Nurbaya (roman, Marah Rusli, 1922), Salah Asuhan (roman, Abdul Muis, 1928), Belenggu (novel, Armijn Pane, 1940), Atheis (novel, Achdiat K. Miharja, 1949), Harimau! Harimau! (novel, Mochtar Lubis), Madah Kelana (puisi, Sanusi Pane, 1931), Nyanyi Sunyi (puisi, Chairil Anwar, 1949), dan Deru Campur Debu (puisi, Chairil Anwar, 1949).
0 Komentar untuk "Periodesasi Dan Perbedaan Karya Sastra"