Tokoh Pergerakan Dan Pejuang Kemerdekaan Ri Dari Banten

Tokoh Banten

Terdapat banyak tokoh pergerakan dan pejuang kemerdekaan yang berasal dari Banten. Namun dalam goresan pena ini saya hanya menyajikan tiga tokoh Banten yang berperan dalam memperjuangkan kemerdekaan RI. Ketiga tokoh tersebut antara lain Mr. Syafrudin Prawiranegara, Brigjen KH. Syam'un, dan KH. Tubagus Achmad Chotib. 
Syafrudin Prawiranegara sendiri sudah ditetapkan sebagai pendekar nasional, sedangkan nama - nama berikutnya ketika ini sedang di usulkan oleh Pemerintah Provinsi Banten melalui Kementrian Sosial biar ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Berikut ini yaitu beberapa kiprah yang dilakukan ketiga tokoh di atas dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI.

Mr. Syafrudin Prawiranegara

Syafrudin Prawiranegara lahir di Serang, Banten pada 28 Februari 1911 dan meninggal di Jakarta pada usia 77 tahun atau pada tahun 1989. 

Pada masa kecil, ia di panggil "Kuding" oleh orang tuanya yang berasal dari kata Udin pada nama Syafrudin. 

Syafrudin mulai menempuh pendidikan di ELS (Europeesche Lagere School) atau sekolah dasar pada tahun 1925. Kemudian dilanjutkan ke MULO atau sekolah menengah pertama pada tahun 1928 serta AMS atau sekolah menengah atas pada tahun 1931. Berikutnya ia melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshoogeshcool) - kini Fakultas Hukum Universitas Indonesia- pada tahun 1939 dan meraih gelar Meester in de Rechten (setara magister hukum). 

Beberapa kontribusinya kepada Bangsa Indonesia antara lain :

1. Sebelum kemerdekaan :

• Sebagai anggota Badan Pekerja KNIP (1945) yang bertugas sebagai dewan legislatif di Indonesia sebelum ditetapkan MPR dan DPR

2. Setelah kemerdekaan :

• Wakil Perdana Menteri ke 3 (4 Agustus 1949 - 20 Desember 1949)
• Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (19 Desember 1948 - 13 Juli 1949)
• Menteri Keuangan Indonesia ke-5 (2 Oktober 1946 - 26 Juni 47 dan 6 September 1950 - 27 April 1951 )
• Menteri Perdagangan Indonesia ke-4 (29 Januari 1948 - 4 Agustus 1949)
• Menteri Pertanian Indonesia ke-5 (29 Januari 1948 - 4 Agustus 1949)

Kalau boleh berpendapat, jasa terbesar Mr. Syafrudin Prawiranegara yaitu pada ketika ia menjadi Ketua PDRI. Sebutan ketua sendiri kadang masih diperselisihkan antara kata presiden atau pelaksana kiprah harian presiden. Yang terang ketika itu Presiden Soekarno dan Wapres Moh. Hatta serta pejabat tinggi lainnya berhasil di tangkap Belanda pada Agresi Militer Belanda II. Kemudian Belanda mengumumkan pada dunia bahwa Indonesia sudah tidak ada alasannya yaitu Ibu Kota Yogyakarta berhasil direbut beserta berhasil menangkap para pimpinan Indonesia. Dalam keadaan genting tersebut (yang mungkin saja menjadi simpulan Indonesia), Mr. Syafrudin Prawiranegara mengumumkan berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dan menurut mandat yang ada, jabatan presiden diambil alih oleh beliau. 

Beserta tokoh nasional lainnya, ia berjuang menunjukan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada. 

Setelah Serangan Umum 1 Maret 1949 yang memaksa Belanda melaksanakan negosiasi dengan Indonesia pada Konferensi Meja Bundar (KMB), jadinya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dengan nama Republik Indonesia Serikat dan jabatan Presiden kembali kepada Ir. Soekarno.

Mr. Syafrudin Prawiranegara juga sangat berjasa pada ketika menjabat Menteri Keuangan pada Kabinet Hatta II dengan mengeluarkan kebijakan Gunting Syafrudin. Kebijakan ini dibentuk untuk mengatasi ekonomi Indonesia yang terpuruk - utang menumpuk, inflasi tinggi dan harga melambung tinggi. Kebijakan Gunting Syafrudin berupa kebijakan memotong (dalam arti sebenarnya) uang merah (uang NICA) dan uang De Javanesche Bank yang bernilai Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri pada nantinya akan ditukar di bank untuk dijadikan alat pembayaran yang sah dengan nilai setengahnya dari nilai awal. Sedangkan guntingan sebelah kanan dinyatakan tidak berlaku tetapi sanggup ditukar dengan obligasi negara yang akan dibayar 30 tahun kemudian dengan bunga 3 % setahun. 

Selain itu, Mr. Syafrudin Prawiranegara juga mengeluarkan kebijakan Sertifikat Devisa (SD). Kebijakan ini dalam rangka mendorong ekspor dan menekan impor. Berdasarkan kebijakan tersebut, selain mendapat uang sesuai harga barangnya, para eksportir juga akan memperoleh SD sebesar 50% dari nilai ekspor. Sebaliknya, para importir selain menyediakan uang senilai harga barang yang dibeli, mereka juga diwajibkan membeli SD dengan kurs yang ditetapkan pemerintah.

Dua kebijakan Mr. Syafrudin tersebut tentu saja menuai pro kontra. Namun ternyata hasilnya mujarab. Kedudukan rupiah menguat, harga barang pokok tidak naik dan pemasukan pemerintah meningkat tajam atau bahkan berlipat - lipat dari 1,871 miliar menjadi 6,990 miliar.

Nama Syafrudin Prawiranegara mulai meredup ketika ia terlibat Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1958. Syafrudin diangkat sebagai Perdana Menteri PRRI dan kemudian membentuk kabinet tandingan sebagai tanggapan atas di bentuknya Kabinet Juanda di Jawa. Namun demikian PRRI tetap mengakui Soekarno sebagai presiden PRRI alasannya yaitu ia diangkat secara konstitusional. PRRI sendiri muncul akhir ketidakpuasan terhadap pemerintah alasannya yaitu ketimpangan sosial yang terjadi. 

Pada masa tuanya, ia menentukan lapangan dakwah sebagai kesibukannya sekali pun sering kali ia tidak boleh naik mimbar oleh pemerintah. Ia juga sempat menulis buku "Sejarah Moneter" dengan dibantu Oei Beng To, Direktur Lembaga Keuangan Indonesia. Diantara quote nya yang populer yaitu "Saya ingin mati dalam Islam. Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah".

Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Kira - kira peribahasa itu yang sempurna mewakili sejarah kehidupan Mr. Syafrudin Prawiranegara. Karena keterlibatannya pada PRRI seolah semua jasa - jasanya dilupakan begitu saja oleh pemrintah. Padahal bila dilihat lebih jauh dari latar belakang berdirinya PRRI, gotong royong kemunculan PRRI yaitu bentuk protes terhadap ketidakadilan yang dilakukan pemerintah sentra terhadap daerah. PRRI sendiri ingin mengakibatkan Indonesia lebih baik. Hanya saja aktivitasnya mungkin termasuk kegiatan inkonstitusional. 

Untuk memulihkan kembali nama beserta jasa Mr. Syafrudin Prawiranegara bagi negara, maka pada 8 Nopember 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menentapkan Mr. Syafrudin Prawiranegara sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Brigjen KH. Syam'un

Tidak banyak sumber sejarah yang menulis wacana Brigjen KH. Syam'un. Bahkan konon katanya kepangkatan dia sebagai Brigadir Jenderal (Brigjen) sendiri belum ditemukan dokumen pendukungnya. Yang ada gres pangkat kolonel. Terlepas dari pro kontra tersebut, berikut disajikan isu umum wacana Brigjen KH. Sam'un.

Lahir di Cilegon, Banten pada 5 April 1893 dari pasangan H. Alwiyan dan Hj. Hajar. KH Sam'un masih keturunan KH. Wasid, yaitu tokoh pada insiden "Geger Cilegon" 1988 (perjuangan melawan Pemerintah Kolonial Belanda).

Pada tahun 1905 atau pada usinya yang ke 11, dia berguru ke Mekah dan berguru di Masjid Al-Haram tempat jago Ke-Islam-an terbaik didunia. Kemudian ia melanjutkan berguru Al-Azhar University, Kairo Mesir pda tahun (1910 - 1915).

Pada ketika di kembali ke Indonesia, KH. Syam’un pernah bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA), dan menjabat sebagai Dai Dan Tyo yang membawahi seluruh Dai Dan I PETA wilayah Serang. Selama menjadi Dai Dan Tyo KH. Syam’un sering mengajak anak buahnya untuk memberontak dan mengambil alih kekuasaan Jepang. Keterlibatan KH. Syam’un dalam dunia militer mengantarkannya menjadi pimpinan Brigade I Tirtayasa Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang bermetamorfosis Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang kemudian berganti menjadi Tentara Nasional Indonesia Divisi Siliwangi.

Selain aktif di kemiliteran, Brigjen Syam'un juga dikenal sebagai pendiri forum pendidikan Perguruan Tinggi Islam Al-Khairiyah di Citangkil, Cilegon pada 5 Mei 1925. Sampai hari ini, forum tersebut terus berkembang dan membentuk jaringan yang semakin meluas.

Setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, KH. Syam'un diangkat menjadi Bupati Serang periode 1945-1949. Pada ketika Agresi Militer Belanda II Bupati KH. Syam’un terpaksa bergerilya dari Gunung Karang Kab. Pandeglang sampai kampung Kamasan Kecamatan Cinangka Kab. Serang. Daerah ini menjadi tempat tinggal salah satu gurunya KH. Jasim. Di Kampung ini juga, Brigjen KH. Syam’un meninggal pada Tahun 1949 alasannya yaitu sakit ketika memimpin gerilya dari hutan sekitar Kamasan.

Selanjutnya, pada ketika ini melalui Kemensos, Pemerintah Provinsi Banten sedang berupaya mengusulkan Brigjen KH. Syam'un sbagai pendekar nasional yang pada waktu pengajuan sebelumnya pernah gagal.

K.H. Tubagus Acmad Chotib

KH. Tubagus Achmad Chotib lahir di Pandegelang, Banten pada 1885. Beliau yaitu seorang ulama, pejuang dan perintis kemerdekaan Republik Indonesia dari Banten. Pada 19 September 1945, dia diangkat oleh Soekarno sebagai Residen Banten. Tidak hanya itu, dia juga sempat menduduki posisi penting menyerupai Dewan Pertimbangan Agung, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) juga pertnah duduk di bangku MPRS dan BPPK.

Selain dalam bidang pemerintahan, dia juga aktif dalam memajukan agama menyerupai dengan mencetuskan berdirinya Majelis Ulama, Perusahaan Alim Ulama, serta mendirikan Universitas Islam Maulana Yusuf. 

Selain banyak berperan pasca kemerdekaan Indonesia, ternyata putra KH. Tubagus Muhamad Waseh juga mempunyai banyak peranan pada masa pergerakan nasional salah satunya yaitu keterlibatan dia dalam Sarekat Islam alasannya yaitu mertuanya yaitu Syekh Asnawi atau lebih dikenal Syekh Asnawi Caringin merupakan tokoh Sarekat Islam (SI) Banten. 

Setelah SI terpecah menjadi dua; SI Putih dan SI Merah, ia menentukan bergabung dengan SI Merah alasannya yaitu kecewa dengan kepemimpinan Tjokroaminoto yang waktu itu terkesan kooperatif dengan pemerintah kolonial belanda. SI Merah inilah yang mengenalkan H. Ahmad Chatib terhadap palu arit atau PKI yang kelak memimpin pemberontakan gagal pada tahun 1926.

PKI Banten/SI Merah bangun pada tahun 1923, H. Ahmad Chatib beserta ulama lainya; Tubagus H. Abdulhamid, KH. Mohammad Gozali, Tubagus KH. Abdul Hadi, Puradisastra (kakak Sukaesih), Alirachman (Aliarcham), dan Tubagus Hilman bergabung dengan PKI/SI Merah. Berdirinya PKI/SI Merah membawa kesan mendalam bagi rakyat Banten. Keberadaanya membawa impian besar rakyat banten yang tidak puas terhadap pemerintah kolonial.

Pada tahun 1926 terjadi pemberontakan di Banten yang dipimpin PKI/SI Merah. Kerana perencanaan yang tidak matang, pemberontakan ini pun mengalami kegagalan dan berhasil dilumpuhkan hanya dalam waktu 7 hari. Alhasil, H. Ahmad Chatib ditangkap, ia dibuang bersama tokoh pemberontak lain ke Boven Digoel, diantaranya; H. Asgari, H. Emed, H. Mohammad Arif, H. Abdul Hamid (adik H.Ahmad Chatib), H. Artadjaja, H. Soeb, H. Abdul Hadi, H. Akjar, dan H. Sentani.

Acham Chotib berhasil pulang dari pengasingan sesudah Jepang berkuasa di Idonesia. Ia kemudian di angkat sebagai Daidanco PETA untuk wilayah Banten. Setelah Jepang mengalah dan Indonesia menyatakan merdeka, barulah ia diangkat menjadi Residen Banten.

Untuk mengenang jasa - jasa KH. Tubagus Achmad Chotib, bersama Brigjen KH. Syam'un dia sat ini (2020) sedang diusulkan oleh Dinas Sosial Propinsi Banten untuk ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Referensi :

id.wikipedia.org

http://www.radarbanten.co.id/tb-ahmad-chatib-diusulkan-jadi-pahlawan-nasional/

https://blog.paperplane-tm.site/search?q=h-ahmad-chatib-ulama-palu-arit