Ngaji di dalam goresan pena ini disempitkan maknanya seperti yang dipahami di desa saya yaitu suatu acara membaca Al-qur'an. Walau pun dalam arti luas, ngaji bisa mempunyai banyak sekali makna, namun jikalau ada kalimat seseorang sedang "ngaji" , maka kita sepakati bahwa orang tersebut sedang membaca Al-qur'an.
Dahulu, saya mencar ilmu ngaji bukan kepada ustad atau guru ngaji. Tapi saya mencar ilmu kepada almarhum kakek yang juga lulusan pesantren salafiah. Metode mencar ilmu yang kakek saya gunakan yaitu metode gerabad (begitu kakek saya menyebutnya). Dengan metode ini saya mencar ilmu ngaji dengan tidak mempelajari buku iqro menyerupai pada umumnya. Saya juga tidak di ajari banyak sekali jenis aturan bacaan dalam membaca Alquran. Modal saya ngaji ketika itu hanya hafal karakter hijaiah dan makhroj huruf. Selebihnya saya tidak diajari. Lalu bagaimana saya bisa membaca Quran dengan baik dan benar, dengan aturan bacaan yang tepat?
Melalui metode gerabad, saya diajari surat - surat pendek. Hal yang terpenting dari metode ini saya harus hapal surat tersebut. Selanjutnya saya praktek membaca dihadapan kakek. Ketika saya membaca surat tersebut, setiap bacaan saya yang salah diluruskan oleh beliau. Bacaan yang harus dibaca panjang, yang harus didengungkan, yang harus di baca jelas, dan lain sebagainya ia ajarkan. Tapi sedikit pun ia tidak memberikan bahwa ini aturan bacaan ikhfa, idghom, mad tabei dan sejenisnya. Ia hanya mengajarkan bagaimana seharusnya membaca ketika bertemu tanda tertentu, jikalau karakter tertentu bertemu dengan karakter lainnya. Intinya ia mengajarkan aturan bacaan tanpa menyebut nama aturan bacaan tersebut. Berbagai teori ilmu tajwid tidak ia singgung, tapi saya harus bisa membaca Alqur'an dengan aturan bacaan yang tepat. Hasilnya hingga ketika ini saya bisa membaca Alqur'an dengan aturan bacaan yang tepat.
Setelah saya beranjak dewasa, saya gres menyadari bahwa pendidikan ngaji yang kakek saya ajarkan lebih kepada learning by doing, dengan mengabaikan banyak sekali teori yang ada. Tapi bukan berarti teori aturan bacaan tidak penting. Justru dengan metode tersebut, saya sanggup dengan gampang menyebutkan banyak sekali aturan bacaan dikemudian hari.
Selain mencar ilmu ngaji, hal yang berkesan pada waktu saya kecil yaitu ketika mencar ilmu perkalian. Saya ingat betul pada waktu kelas 3 sekolah dasar (SD), saya dan mitra - mitra diminta menghapalkan perkalian. Satu persatu kami diminta ke depan kelas untuk memberikan hapalan yang kami punya. Sungguh sial jikalau diantara kami ada yang tidak hapal perkalian yang ditugaskan, sebab pak guru tidak segan menghukumnya. Jenis eksekusi pun bervariasi, ada yang dijewer, bangun didepan kelas dan lain sebagainya. Untung saya berjuang keras dengan menghapal perkalian tersebut. Alhasil saya kondusif dari eksekusi pak guru.
Pada ketika itu jujur saya merasa ngeri, namun pada tahap selanjutnya, saya sadar kengerian ketika itu yaitu bekal saya untuk dikemudian hari. Ketika saya berjuang keras dan berhasil menghapal perkalian, saya jadi lebih gampang mengerjakan soal -soal matematika yang berafiliasi dengan perkalian. Cukup dengan recalling hapalan perkalian yang saya miliki.
Namun jikalau contoh pendidikan semacam itu diterapkan pada era sekarang, sudah sanggup dipastikan akan menerima hujan kritik bahkan mungkin caci. Jangankan pukul atau jewer, tersentuh sedikit saja banyak kasus guru yang menjadi terlapor. Alhasil anak kini lebih manja dan liar sebab guru banyak yang bersifat masa kolot sebab takut berurusan dengan pihak berwajib.
Begitu juga dengan mencar ilmu hapalan. Sekarang mencar ilmu hapalan seolah menjadi hal yang tabu. Sesuatu yang harus dihindari. Untuk mencar ilmu perkalian, siswa cukup memahami bahwa perkalian yaitu penjumlahan berulang. Begitu juga pembagian yang merupakan kebalikannya.
Sejak tidak ada guru yang meminta siswa menghapal perkalian, balasannya luar biasa. Banyak diantara siswa kelas 7 yang begitu kesulitan menjawab soal perkalian. Demikian keluh seorang guru matematika rekan kerja terkait dengan kemampuan dasar yang dimiliki siswa.
Saya mempunyai seorang anak di kelas 2 SD. Ia mencar ilmu perihal perkalian. Alhamdulillah ia paham betul bahwa perkalian yaitu penjumlahan yang berulang. Ia bisa mengerjakan soal perkalian dengan melaksanakan penjumlahan berulang. Semisal 7 x 6, maka ia akan menjumlahkan angka 6 sebanyak 7 kali. Namun ia merasa kesulitan ketika ia harus menghitung perkalian 3 x 4 x 5. Yang ia lakukan yaitu menjumlahkan angka 4 sebanyak 3 x, balasannya 12, kemudian ia menjumlahkan angka 5 sebanyak 12 kali. Saat menjumlahkan angka - angka tersebut, terkadang ia kerepotan, dengan hasil yang kurang sempurna pula. Saya coba berinisiatif supaya ia mencar ilmu menghapalkan perkalian. Hasilnya luar biasa. Dengan cepat ia bisa menjawab soal - soal perkalian sederhana. Ia tidak lagi repot menjumlahkan angka 6 sebanyak 7 kali, tapi ia hanya me-recall ingatan yang sudah dihapalnya bahwa 6 x 7 = 42. Demikian juga ketika ia mengerjakan soal perkalian bertingkat, dengan hapalan yang ia miliki memudahkannya mengerjakan soal tipe itu.
Lalu apa yang ingin saya bagi dalam goresan pena ini? Sederhana saja, saya hanya ingin mengajak bahwa kita jangan terlalu antipati terhadap mencar ilmu hapalan. Dalam beberapa hal mungkin tipe mencar ilmu menyerupai ini kurang baik. Tapi untuk beberapa kasus yang lain, justru hapalan bisa dimanfaatkan untuk mempermudah pembelajaran. Seperti halnya mencar ilmu "ngaji" yang mengandalkan hapalan melalui metode gerabad di atas. Walau tampaknya pembelajaran tidak bermakna, namun sehabis itu ternyata balasannya luar biasa. Bahkan kita diajak untuk bisa menemukan sendiri (learning by doing) banyak sekali aturan bacaan. Dan ketika yang lain masih disibukan dengan mencar ilmu banyak sekali aturan bacaan, justru kita sudah bisa membaca dengan baik Alqur'an dengan aturan bacaan yang benar - walau mungkin tidak bisa menyebutkan nama aturan bacaan tersebut.
Begitu juga dengan menghapalkan perkalian. Siswa justru akan dipermudah mengerjakan banyak sekali soal perkalian jikalau ia sudah hapal perkalian dasar. Ia tidak lagi repot harus menjumlahkan berkali - kali angka dari soal perkalian yang ia terima.
Begitu juga dengan menghapalkan perkalian. Siswa justru akan dipermudah mengerjakan banyak sekali soal perkalian jikalau ia sudah hapal perkalian dasar. Ia tidak lagi repot harus menjumlahkan berkali - kali angka dari soal perkalian yang ia terima.
Melalui goresan pena ini, saya hanya ingin mengatakan, bahwa mencar ilmu dengan metode hapalan masih diperlukan. Terutama pada kemampuan dasar menyerupai perkalian sederhana. *)
*)Mohon maaf jikalau goresan pena di atas tidak lezat di baca sebab redaksi yang kacau. Mohon maklum sebab bukan penulis profesional atau lulusan jurusan bahasa. Haha...
Allahualam
Allahualam
0 Komentar untuk "Masih Perlukah Berguru Hapalan? (Antara Berguru Ngaji Gerabad Dan Hapalan Perkalian)"