Kriktik Mendikbud Dan Realita Profesionalitas Guru Di Sekolah (Edisi Curhat)

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy mengkritik keras guru terkait dengan pekerjaannya. Seperti yang dilansir radarsarko.com (31/10/2020), Muhadjir meminta supaya guru bekerja lebih baik lagi tidak mulu memakai metode ceramah, memperlihatkan tugas, kemudian memperlihatkan pekerjaan rumah (PR). Menurut Muhadjir, guru ketika ini sudah mapan, maka sudah seharusnya bekerja lebih baik.

"Guru - guru harus sadar, pemerintah sudah mengeluarkan dana begitu besar untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Timbal balik dari itu yakni guru harus mengajarkan siswa lebih baik lagi. Jangan hanya cuap - cuap habis itu kasih PR" kata Muhadjir pada ketika penyerahan penghargaan serta hadiah karya lomba video pendek "Sekolahku Masa Depanku" di Jakarta. Ia juga menambahkan "Guru tidak ada pilihan lain selain bekerja baik alasannya yakni sudah menikmati kemapanan. Jangan hanya tiba memperlihatkan ceramah dan memperlihatkan tugas"

Sebagai guru, menerima kritik ibarat itu rasa - rasanya saya ingin sekali berkomentar. Bukan untuk menentang pendapat tersebut, tapi saya ingin mengamininya. Fakta dilapangan, masih banyak guru jauh dari kata profesional pun demikian yang sudah dinyatakan bersertifikat pendidik. Masih banyak bukan berarti tidak ada. Banyak juga guru yang mempunyai kesepakatan yang tinggi sebagai pendidik.

Apa yang dikatakan Mendikbud bahwa banyak guru yang tiba hanya untuk ceramah dan memperlihatkan kiprah itu nyata. Mungkin termasuk juga saya didalamnya. Saya yakni guru yang diangkat pemerintah tempat untuk mengajar mata pelajaran IPS di sebuah sekolah dengan pelayanan minimal. Saat pertama saya diangkat sebagai guru, idealisme saya begitu menggebu, betapa banyak yang harus diperbaiki dalam sistem pendidikan ini. Anak muda yang bersemangat tujuh tahun lalu, mencari- cari banyak sekali terobosan dalam melaksanakan pembelajaran. Namun semua tampak tak berarti. Sistem lingkungan tidak mendukung ke arah itu. Dan saya terbawa sistem yang ada. Datang ke sekolah, bahan sudah di otak, memperlihatkan ceramah, tugas, akhir sudah pekerjaan saya sehari itu sebagai guru. Saya sadar ini salah. Tapi hampir semua guru dilingkungan kerja saya ibarat itu. Saya pikir, mengapa saya harus repot - repot toh yang lain juga sama santainya. Mereka bekerja seadanya, ketika naik pangkat mereka naik pangkat. Saat gajian mereka gajian. Saat proteksi tunjangan sertifikasi mereka dapatkan tunjangan. Absen sanggup di manipulasi. Surat kiprah sanggup dibentuk kapan saja. Kepala sekolah juga tidak terlalu ketat. Kaprikornus apa yang dikejar? Anak arif anak bodoh, itu tergantung anaknya. Masa depan anak bukan ditentukan ketika ini. Kaprikornus apa lagi yang harus diperjuangkan? Pola ibarat ini saya meyakini banyak diterapkan di sekolah - sekolah pinggiran lain dengan stempel standar pelayanan minimal. 

Sebagai guru profesional, seharusnya guru benar - benar menyiapkan pembelajaran dengan matang. Detail skenario dengan banyak sekali metode yang efektif dipikirkan matang - matang. Penggunaan banyak sekali media juga dianggap sangat penting dalam sebuah pembelajaran. Hal ini tentu membutuhkan waktu dan juga biaya lebih. Untuk waktu, guru mempunyai banyak waktu alasannya yakni hanya 24 jam mengajar setiap minggunya. Untuk biaya, bukankah guru sudah mendapatkan tunjangan sertifikasi?. Namun kenyataaannya bagaimana? Ya mengajar begitu - begitu saja. Kalau dikembalikan pertanyaannnya kepada saya, saya jawab saya juga sama begitu. Tapi saya punya argumen lain untuk itu.

Pertama, saya belum mendapatkan tunjangan sertifikasi. Gaji saya hanya sisa utang (apalagi rekan honorer  yang mempunyai honor dibawah 1 juta). Jangankan untuk menciptakan banyak sekali media, untuk makan saja pas - pasan. Yang sudah sertifikasi juga jarang menciptakan banyak sekali media, jadi mengapa saya harus repot-repot. Kedua, kepemimpinan kepala sekolah tidak terlalu memotivasi, tidak ada reward dan punishment yang jelas. Ketiga, kinerja pengawas sekolah kurang maksimal. Kelengkapan manajemen sanggup di negosiasi. Demikian pula pada ketika kenaikan pangkat. Keempat, contoh pembagian jam mengajar juga terkesan syarat kepentingan. Betapa tidak, pembagian jam mengajar guru PNS yakni sisa sesudah agenda guru honorer dibuat. Secara manusiawi saya memaklumi alasan kenapa ibarat itu. Kelima, kompetensi saya masih kurang dan perlu bimbingan lebih lanjut. Saya melihat peningkatan kompetensi dengan banyak sekali training yang saya ikuti lebih terkesan seremonial dan asal ada.

Jadi menanggapi kritik Mendikbud tersebut, jujur saya akui itu memang benar adanya. Guru tiba hanya untuk memberi ceramah, tugas, dan PR. Inovasi pembelajaran masih sangat minim. Tapi bagi saya itu masih jauh lebih baik kalau guru masih mau tiba dan mengajar di sekolah. Fakta lain menyampaikan bahwa alasannya yakni tidak ada pengawasan yang ketat, guru tiba dan mengajar "seenaknya". Maksudnya yakni seringkali membiarkan kelas tidak di ajar. Atau pun hadir di sekolah hanya untuk memperlihatkan tugas. Kesadaran masuk kelas rendah. Bahkan  kehadiran di sekolah pun masih perlu diperbaiki. Mengapa ini terjadi? Sekali lagi alasannya yakni pengawasannya yang kurang. Kepala sekolah dan guru bersinergi untuk saling menutupi hal tersebut alasannya yakni dua - duanya saling diuntungkan. Kaprikornus bagaimana sanggup dikatakan profesional kalau kehadirannya saja ibarat itu, dan kalau pun hadir tidak masuk ke kelas. Dan kalau pun masuk ke dalam kelas terlambat puluhan menit. Kaprikornus saya pikir kalau ada guru mengajar hanya untuk memperlihatkan ceramah, kiprah dan PR, itu masih lebih baik dibanding yang ke sekolah saja jarang.

Ke sekolah jarang, masuk kelas jarang, tapi sanggup gaji. Bagaimana bisa? Absensi nya bagaimana? Absen sistem rapel, sekaligus di tanda tangan. Hadir tidak hadir tinggal ditandatangan. Lain - lain sanggup di atur.

Sebenarnya permasalahan apa yang menimbulkan guru tidak profesional? Kalau berdasarkan saya, hal ini terjadi alasannya yakni kurangnya idealisme dan komitmen sebagai guru. Tidak memandang honor atau penghasilannya berapa banyak, guru yang tidak mempunyai idealisme yang tinggi niscaya bekerja ibarat halnya karyawan. Tanpa memikirkan penemuan atau pembaharuan dalam pembelajaran. Seperti nya saya harus segera berbenah diri. Idealisme saya harus dibangkitkan kembali. Komitmen dalam memajukan dunia pendidikan juga harus saya jaga. Praktis - mudahan saya beserta rekan lain sanggup menjadi guru profesional. Terima kasih pak menteri atas kritikannya.

Tulisan ini tidak bermaksud menyinggung siapa pun. Tulisan ini ditujukan untuk diri saya sendiri yang mempunyai kinerja masih jauh dari harapan. Semoga ke depan saya lebih baik lagi. Minimalnya saya sadar untuk masuk kelas dengan rajin. Pun demikian rekan - rekan yang lain. 

Related : Kriktik Mendikbud Dan Realita Profesionalitas Guru Di Sekolah (Edisi Curhat)

0 Komentar untuk "Kriktik Mendikbud Dan Realita Profesionalitas Guru Di Sekolah (Edisi Curhat)"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)