Kamseupay ialah abreviasi dari kampungan sekali uuhh payah. Bermula dari sinetron dewasa disebuah stasiun televisi swasta, istilah kamseupay menjadi begitu familiar dikalangan dewasa ketika ini. Istilah kamseupay kini telah menggantikan istilah kampungan. Lalu apakah kamseupay atau kampungan itu? Kampungan berasal dari kata kampung dengan imbuhan –an. Kata kampungan menunjuk pada sebuah sifat yang menempel pada diri seseorang. Kampungan bisa berkaitan dengan kebiasaan dikampung; terbelakang; kolot. Kampungan juga bisa diartikan sifat yang tidak tahu sopan santun, tidak terdidik atau kurang ajar. Secara sedarhana, kampungan menunjuk pada sifat – sifat negatif yang dimiliki seseorang yang sanggup dilhat dari cara berpakaian, cara berbicara, cara bergaul, atau cara mereka mendapatkan sesuatu hal yang gres yang biasa nya berbentuk sikap yang tidak lazim dan berujung pada mempermalukan diri sendiri. Karena kampungan ialah sebuah sifat, maka orang yang kampungan tidak serta merta hanya dari orang kampung atau desa, orang kota pun bisa mempunyai sifat kampungan. Kampungan dikalangan pelajar mengacu pada sifat/karakter atau kebiasaan pelajar yang cenderung negatif atau bahkan destruktif. Yang jauh dari tata nilai, ibarat tidak terdidik atau bahkan kurang ajar. Berdasarkan pengamatan penulis, berikut ini budaya kampungan dikalangan pelajar:
Menyontek
Menyontek mengacu pada aktivitas menjiplak/meniru pekerjaan sahabat atau membuka buku / bahan secara sembunyi – sembunyi ketika ujian atau ulangan dengan tujuan mendapatkan nilai sempurna. Budaya kampungan yang satu ini sudah bukan merupakan hal gres bagi para pelajar di Indonesia. Mereka menganggap menyontek ialah hal biasa. Diakui atau tidak, hampir semua pelajar pernah melaksanakan apa yang disebut dengan menyontek. Mungkin juga termasuk anda ketika menjadi pelajar.
Dalam jangka pendek, menyontek tidak lah separah/sejahat atau merugikan ibarat korupsi. Tapi dalam waktu yang lama, kebiasaan menyontek ternyata disinyalir ikut mempunyai andil yang besar dalam mencetak generasi-generasi koruptor. Betapa tidak, menyontek ialah perbuatan tidak jujur, membohongi diri sendiri, menipu orang lain hanya untuk mendapatkan nilai tepat dan mendapatkan penghargaan dari orang lain. Yang perlu digaris bawahi ialah kata “tidak jujur”. Saat pertama menyontek mungkin akan terasa bersalah lantaran tahu perbuatannya itu melanggar norma. Tapi bayangkan kalau itu terjadi berulang kali. Maka rasa bersalah itu akan hilang, dan menganggap bahwa ketidak jujurannya dalam menyontek ialah sebuah hal biasa. Dan ketidakjujurannya menjadi sebuah karakter yang menempel pada dirinya. Nah, ketika ia menjadi pejabat publik yang mempunyai wewenang, maka tentu tidak absurd seandainya beliau korupsi, lantaran korupsi sebagai perbuatan “tidak jujur” yang melanggar norma, itu bukan sebuah hal yang salah. Tapi hal yang biasa. Ini terbentuk dari kebiasaan menyontek ketika di sekolah.
Cara berpakaian
Don’t judge a book from the cover! Ungkapan yang sering kita dengar bahwa jangan pernah melihat kualitas sebuah buku hanya dengan melihat sampulnya, atau jangan pernah menilai seseorang dari penampilan luarnya saja. Walau pun tidak ada kekerabatan yang berpengaruh antara penampilan seseorang dengan kualitas orang tersebut, tetapi sedikit banyak, penampilan mencerminkan karakter dari orang tersebut. Bandingkan antara pengemis yang menggunakan pakaian compang camping dengan para administrator yang begitu rapi dan elegan. Terlihat terang perbedaan diantara keduanya. Dalam hal ini, ternyata penampilan menandakan kualitas dari orang tersebut. Lalu ibarat apa budaya kampungan pelajar dilihat dari cara berpakaiannya? Sederhana, liat saja cara ia menggunakan seragam sekolahnya. Lihat apakah cara berpakaiannya melanggar tata tertib sekolahnya, ibarat menggunakan baju tanpa menyelipkannya ke dalam celana, menggunakan rok atau celana yang ngatung, celana sobek-sobek dan lain sebagainya. Jelas itu tidak mencerminkan sikap seorang pelajar yang terdidik. Maka masuk akal kalau sikap tersebut dikatakan kampungan.
Cara berkendara
Bentuk kampungan berikutnya dari pelajar sanggup terlihat dari cara mereka berkendara. Walau pun usia pelajar belum layak untuk membawa kendaraan sendiri lantaran belum mempunyai SIM, nyatanya banyak pelajar yang membawa kendaraan sendiri ibarat motor ketika ia ke sekolah. Dalam mengendarai motor, mereka jarang sekali menggunakan helm. Mereka tidak terlalu peduli dengan keselamatannya. Selain jarang sekali menggunakan helm, pelajar mengendarai motornya bahagia dengan kecepatan tinggi. Ironisnya mereka ngebut dengan tidak memperhitungkan segala resiko dan tentu saja akan membahayakan diri dan orang lain. Mereka sangat bahagia kebut-kebutan di jalan dengan ugal-ugalan. Menurut mereka itu keren. Tidak sedikit yang merasa terganggu dengan ulah meraka. Wajar kalau mereka sering didoakan oleh banyak orang dengan hal buruk.
Selanjutnya, lihat juga cara mereka merawat kendaraannya. Mereka bahagia sekali memodifikasi kendaraan mereka yang sudah standar dengan kemauan atau harapan mereka sendiri. Tentu memodifikasi ialah bentuk kreatifitas dari pelajar. Tapi masalahnya, banyak diantara mereka memodifikasi kendaraan mereka secara asal-asalan dan yang ada terkesan kampungan. Sebagai contoh, mereka mengganti knalpot standar dengan knalpot yang bersuara sangat keras dan tidak memenuhi standar yang ditetapkan SNI. Mereka besar hati memakainya. Mereka merasa keren mengendarai kendaraan dengan bunyi keras. Semakin keras bunyi kendaraan mereka, maka semakin tinggi prestise dirinya diantara sahabat – temannya. Padahal bunyi knalpot yang keras, terang – terang mengganggu ketertiban umum. Dan tentu sanggup memancing emosi orang yang mendengarnya. Selain jarang sekai menggunakan helm dan knalpot bersuara sangat keras, pelajar dengan kategori kampungan biasanya kendaraan mereka jarang sekali menggunakan beling spion, mengganti atau bahkan tidak memasang nomor polisi, mengganti ban lebih kecil atau lebih besar dan sebagainya. Yang niscaya itu sangat membahayakan keselamatannya dan keselamatan orang.
Pergaulan
Dikalangan remaja, biasanya lawan kata kampungan ialah gaul. Artinya mereka yang gaul itu tidak kampungan. Tapi lihat dulu gaul yang bagaimana. Masalahnya banyak bentuk pergaulan yang penuh dengan hal negatif. Anak gaul ialah mereka yang mempunyai banyak sahabat dan sanggup diterima dimana pun. Untuk mendapatkan predikat gaul, banyak remaja/pelajar yang terjebak dengan hal – hal yang justru menciptakan mereka kampungan. Sebut saja kebiasaan merokok, menjadi anggota gank, nongkrong – nongkrong, malak, atau bahkan tawuran. Merokok bagi sebagian pelajar, ialah merupakan bentuk dari anak gaul. Mereka menganggap bahwa merokok itu ialah pembuktian atas kejantanan mereka. Yang tidak merokok bersiaplah mendapatkan julukan bencong –padahal bencong lebih banyak yang merokok. Dengan merokok, prestise mereka meningkat, lebih pede dan gampang diterima oleh sahabat – sahabat yang lain. Hal ini lah yang mereka pikirkan ketika mereka merokok. Padahal merokok itu berdasarkan penulis ialah kampungan. Lihat saja, apa laba dari merokok. Tidak ada! Mereka yang mengerti perihal ancaman merokok jarang sekali menjadi perokok. Selain terang – terang merugikan secara fisik, seorang pelajar dengan menggunakan seragam sekolah terlihat merokok terlihat sekali kampungannya, udik, norak dan tidak terdidik. Karena setiap sekolah niscaya melarang mereka merokok mengingat bahayanya. Tapi mengapa mereka tetap merokok.
Selain merokok, pelajar bahagia sekali mengelompokan diri dengan identitas tertentu. Misalnya menyebut sekolah mereka dengan angka-angka tertentu dan memberi label pada sekolah lain dengan angka-angka yang lain. Kemudian mereka saling memprovokasi. Ujungnya terjadilah tawuran antar sekolah. Sangat tidak produktif. Kebiasaan lain pelajar ialah mereka bahagia sekali nongkrong – nongkrong dengan sahabat se-gank nya. Membolos, kemudian mereka pergi ke tempat- kawasan favorit mereka ibarat pinggir-pinggir jalan, warnet, rental ps, atau sejenisnya. Parahnya lagi, dibeberapa kawasan di kabupaten serang, beberapa pelajar mempunyai kebiasaan gres ketika membolos yaitu mereka pergi ke kawasan yang jauh dengan bekal menumpang pada kendaraan – kendaraan dengan cara mencegatnya dipinggir jalan. Mereka bahagia menumpang pada kendaraan ibarat truk atau pick up yang terang – terang sangat membahayakan keselamatan mereka. Mereka menyebutnya dengan istilah BM atau berani mati. Yang ada bukan berani mati, tapi konyol.
Kamseupay Vs Alay
Ciyus? Miapah? Nelan? Cungguh? Beberapa kata tersebut tampaknya sering kita dengar akhir-akhir ini. Bagi sebagian orang, kata – kata tersebut begitu mengganggu, tapi bagi sebagian lagi kata tersebut begitu menarik dan perlu dikembangkan lagi. Mereka yang menyukai penggunaan kata tersebut menyebut diri meraka sebagai komunitas Alay. Alay ialah sebuah fenomena sikap dikalangan dewasa Indonesia. Alay ialah abreviasi dari anak layangan, yaitu orang – orang kampung yang bergaya norak, alay sering diidentifikasikan dengan hal – hal yang norak dan narsis (Aden R, 2010 : 42). Ada juga yang menyebut alay sebagai “anak lebay” yang suka berlebihan atau sok eksis. Sedangkan berdasarkan para hebat psikologi, ibarat Koentjara Ningrat menyebut alay sebagai tanda-tanda yang dialami cowok – pemudi Indonesia, yang ingin diakui statusnya diantara sahabat – temannya. Gejala ini akan mengubah gaya tulisan, gaya berpakaian,sekaligus meningkatkan kenarsisan, yang cukup mengganggu masyarakat dunia maya.
Ciri – ciri bahasa alay antara lain :
1. Menggunakan angka untuk menggantikan huruf.
Contoh : 4ngk4, p3r91, k1ta dll
2. Kapitalisasi yang berantakan.
Contoh : “bRo, beSoK pErGi YuuK!”
3. Menambahkan “x” atau “z” pada akhiran kata atau mengganti abjad “s” dengan kedua abjad tersebut dan menyelipkan abjad – abjad yang tidak perlu serta merusak EYD.
Contoh : “Metz mlm!” “Xory gx bs ikut!”
4. Merubah kata baku dengan kata plesetan ibarat kata serius jadi Ciyus, sumpah jadi miapah dan lain-lain 5. Senang menggunakan abreviasi yang tidak lazim,
rujukan : masbuloh (masalah buat loh), kamseupay (kampungan sekali uh payah) dll
Penggunaan bahasa Alay ternyata mempunyai dampak positif dan negative. Dari sisi positif, penggunaan bahasa alay ternyata melatih dewasa menjadi lebih kreatif. Mereka kreatif menemukan kata – kata gres hasil dari penemuan kata yang ada. Menurut mereka, penggunaan bahasa alay tidak cukup mengganggu asalkan digunakan pada situasi yang tepat dan komunikasi yang tepat juga. Sedangkan dampak negative bahasa alay antara lain ialah sanggup merusak penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Padahal disekolah atau ditempat kerja, kita diharuskan menggunakan bahasa yang baik dan benar. Jika terbiasa menggunakan bahasa alay, maka itu sama saja mempersulit diri sendiri. Bayangkan kalau mengerjakan kiprah sekolah menggunakan bahasa alay, kemudian bayangkan apa yang terjadi ketika sebuah ajuan penting ditulis dengan bahasa alay. Dampak negative lainnya ialah penggunaan bahasa alay ternyata cukup mengganggu siapa pun yang membaca atau mendengarnya lantaran tidak semua mengerti dari kata – kata alay tersebut. Bahkan lantaran merasa terganggu dengan bahasa alay, yang lebih ekstrim menyatakan bahwa alay bukan lah bahasa gaul, tapi bahasa sampah. Ada juga yang menyebut bahasa alay sebagai bahasa bencong lantaran biasanya bahasa ini sering digunakan para bencong . Terlepas dari itu semua, faktanya banyak pelajar yang menggunakan bahasa alay. Lihat saja di jaringan social ibarat facebook, twitter dan lain sebagainya. Betapa banyak status – status mereka ditulis dengan bahasa alay. Begitu pun ketika mereka berkomunikasi lewat short message servis (sms). Berapa banyak kata ibarat w, wa, Q, G (Gue); sayonk (sayang); T4 (tempat); lom, lum (belum) dan banyak lagi kata lain yang sering mereka gunakan. Lalu setujukah kita menyebut alay itu sebagai budaya kampungan?
Dengan melihat budaya kampungan sebagai budaya destruktif dan merusak, jauh dari tata nilai, maka terlepas sisi positifnya, fenomena alay bisa saja kita sebut sebagai budaya kampungan lantaran fenomena ini merusak system bahasa yang sudah baku. Terlebih dari itu, bahasa alay juga ternyata cukup mengganggu bagi mereka yang membaca atau mendengarnya.
Apa yang seharusnya?
Budaya kampungan di kalangan pelajar ibarat yang disebut di atas tentu bukan tanpa sebab. Banyak factor yang mempengaruhinya. Dan yang paling lebih banyak didominasi ialah berkaitan dengan kondisi psikologis pelajar itu sendiri. Pada umumnya pelajar pada kisaran usia remaja. Pada usia ini, kondisi psikologis nya masih sangat labil. Remaja merupakan sosok yang sedang mencari jati diri. Banyak pertanyaan yang harus mereka cari jawabannya. Pendirian mereka pada umumnya berubah – ubah. Tidak stabil dan gampang terpengaruh oleh lingkungan. Kondisi ini lah yang mengakibatkan mereka terjerumus pada sikap – sikap yang membentuk budaya kampungan pada diri mereka. Hal ini kalau dibiarkan tentu akan merugikan masa depan mereka. Lalu siapa yang paling bertanggungjawab untuk mencegah sikap kampungan destruktif dikalangan pelajar. Jawabannya ialah harus adanya kiprah aktif dari sekolah, guru, dan tentu saja orang bau tanah dari pelajar itu sendiri. Sekolah sebagai sarana pendidikan formal bagi pelajar tentu harus benar – benar menjadi wadah yang bisa membentuk karakter pelajar menjadi ibarat yang diamanatkan pada undang – undang pendidikan nasional. Focus utama dari sekolah ialah mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu membentuk generasi berpengetahuan dan bermoral. Sekolah harus bisa menyusun sebuah kurikulum yang benar – benar bisa menjadi sarana aktualisasi diri para pelajar. Bukan sekedar penjejalan materi, tapi harus lebih memanusiakan pelajar itu sendiri. Kalau pun adanya tuntutan dari pengelola pendidikan yang lebih tinggi untuk mencapai sasaran kurikulum, sekiranya tetap tidak mengesampingkan kepentingan pelajar untuk bisa melepaskan energy melimpahnya ke dalam bentuk yang positif melalui banyak sekali aktivitas ibarat aktivitas ekstrakurikuler. Perbanyaklah aktivitas ekskul dengan variasi yang bermacam-macam sesuai minat talenta siswa yang ada disekolah. Sekali waktu, berikan sosialisasi perihal ancaman sifat atau sikap yang destruktif. Jika tindakan refresif pun dianggap perlu, maka lakukanlah selama tidak bertentangan dengan hak – hak anak dengan tujuan demi kebaikan pelajar itu sendiri. Buatlah hukum yang tegas dan terang melalui sebuah kesepakatan, bukan otoriter. Sehingga semua mempunyai rasa tanggungjawab menjalankannya.
Berikutnya guru juga turut andil dalam pembentukan karakter pelajar lantaran tentu saja guru akan sering bertemu secara intensif dengan siswa di sekolahnya. Dan biasanya siswa akan berguru menggandakan karakter dari guru – guru yang ada di sekolahnya. Maka dari itu, guru harus bisa menjadi tauladan yang baik bagi pelajar. Guru harus berguru menjadi sosok yang tepat di mata pelajar. Mulai lah dari hal – hal kecil ibarat tidak terlambat masuk kelas, selalu berpakaian rapi, tidak merokok, dan biasakan selalu berkata jujur. Dalam kesehariannya pun, sosok guru harus tetap menjadi eksklusif yang menarik dan elegan. Selain sebagai sosok tauladan, kiprah guru juga penting untuk melaksanakan pendekatan persuasive kepada siswa-siswa yang dianggap bermasalah. Jangan pernah menjaga jarak dengan siswa. Cari tahu duduk kasus yang dihadapi siswa, kemudian bantulah ia memecahkan duduk kasus tersebut.
Terakhir, kiprah terpenting dalam membentuk karakter pelajar ialah orang tua. Orang bau tanah harus memampu membentengi mereka dengan pengetahuan dan keimanan. Orang bau tanah juga harus bisa mempunyai kiprah ganda, tidak hanya sebagai orang tua, tapi juga sebagai sahabat dan guru bagi anak – anaknya. Pada akhirnya, sanggup disimpulkan bahwa budaya kampungan cenderung bersifat negative atau bahkan destruktif. Jika budaya ini terus dibiarkan yang nantinya menjadi karakter yang menempel pada diri pelajar, ini tentu akan merugikan pelajar itu sendiri pada masa yang akan datang. Maka keterlibatan semua unsur dalam mencegah budaya ini sangat diperlukan. Mudah-mudahan budaya kampungan ibarat yang diuraikan di atas, bertahap sanggup dikurangi atau bahkan dihilangkan.
0 Komentar untuk "Kamseupay…Iuhh!! (Budaya Kampungan Di Kalangan Pelajar –Refleksi Sikap Pelajar Di Kabupaten Serang)"