Abdurrahman Wahid Presiden Indonesia Ke Iv






Nama Lengkap            : Abdurrahman Wahid
Profesi                         : -
Agama                         : Islam
Tempat Lahir               : Jombang
Tanggal Lahir              : Minggu, 4 Agustus 1940
Zodiac                         : Leo
Warga Negara             : Indonesia

BIOGRAFI
Kyai Haji Abdurrahman Wahid atau yang dekat diundang Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 7 September 1940. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Adakhil yang bermakna sang penakluk. Karena kata “Adakhil” tidak cukup dikenal, maka diganti dengan nama “Wahid” yang lalu lebih dimengerti dengan Gus Dur. Gus merupakan panggilan kehormatan khas Pesantren terhadap seorang anak kiai yang bermakna “abang atau mas”.

Gus Dur merupakan anak pertama dari enam bersaudara. Ia lahir dari keluarga yang cukup terhormat. Kakek dari ayahnya, K.H. Hasyim Asyari, merupakan pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Sementara itu kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, merupakan pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayahnya K.H. Wahid Hasyim merupakan sosok yang terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949, sedangkan ibunya Ny. Hj. Sholehah merupakan putri pendiri Pondok Pesantren Denayar Jombang.

Gus Dur pernah menyatakan secara terbuka bahwa ia merupakan keturunan TiongHoa dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan a Lok, yang merupakan kerabat kandung dari Raden Patah (Tan Eng Hwa) yang merupakan pendiri kesultanan Demak. Tan a Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Puteri Campa yang merupakan Puteri Tiongkok yakni selir Raden Brawijaya V. Berdasarkan observasi seorang peneliti Perancis Louis Charles Damais, Tan Kim Han diidentifikasikan selaku Syekh Abdul Qodir Al Shini yang makamnya didapatkan di Trowulan.

Pada tahun 1944 Abdurrahman Wahid pindah dari kota asalnya Jombang menuju Jakarta, alasannya merupakan pada di saat itu ayahnya terpilih menjadi ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang biasa disingkat “Masyumi”. Masyumi merupakan suatu organisasi pemberian dari prajurit Jepang yang pada di saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang menjaga kedaulatan Indonesia melawan Belanda. Ia kembali ke Jakarta pada final perang tahun 1949 alasannya merupakan ayahnya ditunjuk selaku Menteri Agama.

Gus Dur menempuh ilmu di Jakarta dengan masuk ke SD Kris sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Pada tahun 1952 ayahnya sudah tidak menjadi Menteri Agama tetapi dia tetap tinggal di Jakarta. Pada tahun 1953 di bulan April ayah Gus Dur meninggal dunia akhir kecelakaan mobil.

Pada tahun 1954 pendidikannya berlanjut dengan masuk ke sekolah menengah pertama, yang pada di saat itu ia tidak naik kelas. Lalu ibunya mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan.

Setelah lulus dari Sekolah Menengah Pertama pada tahun 1957, Gus Dur mengawali pendidikan muslim di suatu Pesantren yang berjulukan Pesantren Tegalrejo di Kota Magelang. Pada tahun 1959 ia pindah ke Pesantren Tambakberas di Kota Jombang. Sementara melanjutkan pendidikanya, ia juga menerima pekerjaan pertamanya selaku seorang guru yang nantinya selaku kepala sekolah madrasah.  Bahkan ia juga melakukan pekerjaan selaku jurnalis Majalah Horizon serta Majalah Budaya Jaya.

Pada tahun 1963, ia menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk melanjutkan pendidikan di  Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November tahun 1963. Universitas menginformasikan Gus Dur untuk mengambil kelas remedial sebelum mencar ilmu bahasa Arab dan mencar ilmu islam. Meskipun jago berbahasa Arab, ia tidak dapat memamerkan bukti bahwa bersamaan ia jago berbahasa Arab. Ia pun terpaksa mesti mengambil kelas remedial.

Pada tahun 1964 Gus Dur sungguh menikmati kehidupannya di Mesir.  Ia menikmati hidup dengan menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menikmati menonton sepakbola. Gus Dur juga terlibat dengan Asosiasi  Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah dari perkumpulan tersebut. Akhirnya ia berhasil lulus dari kelas remedialnya pada final tahun. Pada tahun 1965 ia mengawali mencar ilmu ilmu Islam dan juga bahasa Arab. Namun Gus Dur kecewa dan menolak sistem mencar ilmu dari universitas alasannya merupakan ia sudah mempelajari ilmu yang diberikan.

Di Mesir, Gus Dur melakukan pekerjaan di Kedutaan Besar Indonesia. Namun pada di saat ia melakukan pekerjaan insiden Gerakan 30 September (G 30 S) terjadi. Upaya pemberantasan komunis dijalankan di Jakarta dan yang menanggulangi di saat itu merupakan Mayor Jendral Suharto. Sebagai bab dari upaya tersebut.  Gus Dur ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan terhadap pelajar universitas dan memamerkan laporan kedudukan politik mereka. Ia menerima perintah yang ditugaskan menulis laporan.

Akhirnya ia mengalami kegagalan di Mesir. Hal ini terjadi alasannya merupakan Gus Dur tidak setuju akan sistem pendidikan di universitas dan pekerjaannya setelah G 30 S sungguh mengusik dirinya. Pada tahun 1966 ia mesti mengulang pendidikannya. Namun pendidikan pasca sarjana Gus Dur diselamatkan oleh beasiswa di Universitas Baghdad. Akhirnya ia pindah menuju Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun pada mulanya ia lalai, tetapi ia dengan segera belajar. Gus Dur juga meneruskan keterlibatannya dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan selaku penulis majalah Asosiasi tersebut.

Pada tahun 1970 ia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad. Setelah itu, Gus Dur ke Belanda untuk meneruskan pendidikan. Ia ingin mencar ilmu di Universitas Leiden, tetapi ia kecewa alasannya merupakan pendidikan di Universitas Baghdad tidak diakui oleh universitas tersebut. Akhirnya ia pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali lagi ke Indonesia pada tahun 1971.

Di Jakarta, Gus Dur berharap akan kembali ke mancanegara untuk mencar ilmu di Universitas McGill di Kanada. Ia pun bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Organisasi ini berisikan kaum intelektual  muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang berjulukan Prima dan Gus Dur menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Beliau berkeliling pesantren di seluruh Jawa.


Pada di saat itu pesantren berupaya keras untuk menerima pendanaan dari pemerintah dengan mengadopsi kurikulum pemerintah. Karena nilai-nilai pesantren kian luntur akhir pergantian ini, Gus Dur pun prihatin dengan keadaan tersebut. Ia juga prihatin akan kemiskinan yang melanda pesantren yang ia lihat. Melihat keadaan tersebut Gus Dur membatalkan mencar ilmu ke mancanegara dan lebih menegaskan membuatkan pesantren.

Akhirnya ia meneruskan kariernya selaku seorang jurnalis pada Majalah Tempo dan Koran Kompas. Tulisannya sanggup diterima dengan baik. Ia membuatkan reputasi selaku komentator sosial. Dengan itu ia menerima banyak seruan untuk memamerkan pelatihan sehingga menjadikannya sering pulang dan pergi antara Jakarta dan Jombang.

Meskipun kariernya bisa menjangkau keberhasilan tetapi ia masih merasa susah hidup alasannya merupakan cuma memiliki satu sumber pencaharian. Ia pun melakukan pekerjaan kembali dengan profesi berlainan untuk menerima pendapatan perhiasan dengan menjual  kacang dan mengirimkan es. Pada tahun 1974 ia menjabat selaku Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng hingga tahun 1980. Pada tahun 1980 ia menjabat selaku seorang Katib Awwal PBNU hingga pada tahun 1984. Pada tahun 1984 ia naik pangkat selaku Ketua Dewan Tanfidz PBNU. Tahun 1987 Gus Dur menjabat selaku Ketua Majelis Ulama Indonesia. Pada tahun 1989 kariernya pun meningkat dengan menjadi seorang anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI. Dan hingga kesannya pada tahun 1999 hingga 2001 ia menjabat selaku Presiden Republik Indonesia.

Sebagai seorang Presiden RI, Gus Dur memiliki pendekatan-pendekatan yang berlainan dalam menanggapi suatu permasalahan bangsa. Ia melakukan pendekatan yang lebih simpatik terhadap golongan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mengayomi etnis Tionghoa , meminta maaf terhadap keluarga PKI yang mati dan disiksa, dan lain-lain. Selain itu, Gus Dur juga dimengerti sering melontarkan pernyataan-pernyataan kontroversial, yang salah satunya merupakan menyampaikan bahwa anggota MPR RI menyerupai anak TK.

Hanya sekitar 20 bulan Gus Dur menjabat selaku Presiden RI. Musuh-musuh politiknya mempergunakan benar kendala Bulloggate dan Bruneigate untuk menggoyang kepemimpinannya. Belum lagi hubungan yang tidak serasi dengan TNI, Partai Golkar, dan elite politik lainnya. Gus Dur sendiri sempat mengeluarkan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar selaku bentuk perlawanan terhadap Sidang spesial MPR. Namun dekrit tersebut tidak menerima pemberian dan pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi memberhentikan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri. 
 


Sebelumnya, pada Januari 2001, Gus Dur menginformasikan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional. Tindakan ini disertai dengan pencabutan larangan penggunaan aksara Tionghoa.

Setelah berhenti menjabat selaku presiden, Gus Dur tidak berhenti untuk melanjutkan karier dan perjuangannya. Pada tahun 2002 ia menjabat selaku penasihat Solidaritas Korban Pelanggaran HAM. Dan pada tahun 2003, Gus Dur menjabat selaku Penasihat pada Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional.
Tahun 2004, Gus Dur kembali berupaya untuk menjadi Presiden RI. Namun impian ini kandas alasannya merupakan ia tidak lolos pemeriksaan kesehatan oleh Komisi Pemilihan Umum.

Pada Agustus 2005 Gus Dur menjadi salah satu pimpinan koalisi politik yang berjulukan Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu. Bersama dengan Tri Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung dan Megawati, koalisi ini mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Pada tahun 2009 Gus Dur menderita beberapa penyakit. Bahkan sejak ia menjabat selaku presiden, ia menderita gangguan pandangan sehingga surat dan buku terkadang dibacakan atau bila di saat menulis terkadang juga dituliskan. Ia menerima serangan stroke, diabetes, dan gangguan ginjal. Akhirnya Gus Dur pun pergi menghadap sang khalik (meninggal dunia) pada hari Rabu 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada pukul 18.45 WIB.


PENDIDIKAN
  • 1957-1959 Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah
  • 1959-1963 Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur
  • 1964-1966 Al Azhar University, Cairo, Mesir, Fakultas Syari'ah (Kulliyah al-Syari'ah)
  • 1966-1970 Universitas Baghdad, Irak, Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab

KARIR
  • 1972-1974 Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Ashari, Jombang, selaku Dekan dan Dosen
  • 1974-1980 Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng
  • 1980-1984 Katib Awwal PBNU
  • 1984-2000 Ketua Dewan Tanfidz PBNU
  • 1987-1992 Ketua Majelis Ulama Indonesia
  • 1989-1993 Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI
  • 1998 Partai Kebangkitan Bangsa, Indonesia, Ketua Dewan Syura DPP PKB
  • 1999-2001 Presiden Republik Indonesia
  • 2000 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Mustasyar
  • 2002 Rektor Universitas Darul Ulum, Jombang, Jawa Timur, Indonesia
  • 2004 Pendiri The WAHID Institute, Indonesia

PENGHARGAAN
  • 2010 Lifetime Achievement Award dalam Liputan 6 Awards 2010
  • 2010 Bapak Ombudsman Indonesia oleh Ombudsman RI
  • 2010 Tokoh Pendidikan oleh Ikatan Pelajar Nadhlatul Ulama (IPNU)
  • 2010 Mahendradatta Award 2010 oleh Universitas Mahendradatta, Denpasar, Bali
  • 2010 Ketua Dewan Syuro Akbar PKB oleh PKB Yenny Wahid
  • 2010 Bintang Mahaguru oleh DPP PKB Muhaimin Iskandar
  • 2008 Penghargaan selaku tokoh pluralisme oleh Simon Wiesenthal Center
  • 2006 Tasrif Award oleh Aliansi Jurnanlis Independen (AJI)
  • 2004 Didaulat selaku “Bapak Tionghoa” oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang
  • 2004 Anugrah Mpu Peradah, DPP Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia, Jakarta, Indonesia
  • 2004 The Culture of Peace Distinguished Award 2003, International Culture of Peace Project Religions for Peace, Trento, Italia
  • 2003 Global Tolerance Award, Friends of the United Nations, New York, Amerika Serikat
  • 2003 World Peace Prize Award, World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan
  • 2003 Dare to Fail Award , Billi PS Lim, penulis buku paling laku "Dare to Fail", Kuala Lumpur, Malaysia
  • 2002Pin Emas NU, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta, Indonesia.
  • 2002 Gelar Kanjeng Pangeran Aryo (KPA), Sampeyan dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XII, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia
  • 2001 Public Service Award, Universitas Columbia , New York , Amerika Serikat
  • 2000 Ambassador of Peace, International and Interreligious Federation for World peace (IIFWP), New York, Amerika Serikat
  • 2000 Paul Harris Fellow, The Rotary Foundation of Rotary International
  • 1998 Man of The Year, Majalah REM, Indonesia
  • 1993 Magsaysay Award, Manila , Filipina
  • 1991 Islamic Missionary Award , Pemerintah Mesir
  • 1990 Tokoh 1990, Majalah Editor, Indonesia
  • Doktor Kehormatan:
  • Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000
  • Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne, Paris, Perancis (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Universitas Twente, Belanda (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang (2002)
  • Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas Netanya, Israel (2003)
  • Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan (2003)
  • Doktor Kehormatan dari Universitas Sun Moon, Seoul, Korea Selatan (2003)


Sumber http://rudyherianto.blogspot.com

Related : Abdurrahman Wahid Presiden Indonesia Ke Iv

0 Komentar untuk "Abdurrahman Wahid Presiden Indonesia Ke Iv"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)