Salarem |
Kepulauan Aru ialah tempatku mengabdi sebagai dokter PTT. Aku bertugas selama 6 bulan di Puskesmas Batugoyang dan 1,5 tahun berikutnya di Puskesmas Longgar-Apara. Puskesmas Batugoyang ialah Puskesmas Rawat Jalan dengan wilayah kerja yang cukup sempit, hanya 3 desa saja (Desa Batugoyang, Salarem dan Dosimar).
Sebulan sekali kami mengadakan Puskesmas Keliling (Pusling) ke Dosimar maupun Salarem. Bila angin timur bertiup di Aru (sekitar bulan Juni hingga Desember) maka bahtera kami akan sukar merapat ke Salarem lantaran desa ini tidak mempunyai dermaga. Solusinya ialah : "Kami berjalan kaki dari Batugoyang ke Salarem". Memang sedikit menderita, apalagi kami harus membawa obat-obatan, timbangan badan, bubur dan biskuit untuk anak yang kurang gizi dan perlengkapan pribadi.
Perjalanan jalan kaki dari Batugoyang menuju Salarem ditempuh dalam 2,5 jam menyusuri pasir putih dan 2 buah sungai yang bermuara ke laut. Sedang kalau kita naik katinting (perahu kayu kecil yang bermesin) maka hanya diharapkan waktu setengah jam. Salarem dan Batugoyang ialah desa yang bertetangga. Dari Batugoyang kita sanggup melihat bukit-bukit merah Salarem dengan cukup jelas. Salarem memang populer dengan bukit-bukit merahnya yang berbaris sepanjang tepi pantainya.
Salarem & Batugoyang terletak di titik terselatan Kepulauan Aru |
Penari Tambaroro dari Salarem |
Gereja di Salarem |
Pusling dan Posyandu di Salarem |
Uniknya kalau kami akan melaksanakan Pusling ke Salarem dengan berjalan kaki, maka kami harus memperhitungkan pasang surut air laut. Akan ancaman kalau berjalan menuju ke Salarem dikala air pasang dan ini alasannya :
- Karena salah satu sungai yang kami akan lewati cukup dalam dan katanya ada buaya nya ckckck. Semakin pasang air laut, maka air yang biasa hanya setinggi betis atau pinggang sanggup jadi setinggi dada atau berenang (alias lewat kepala). Sedangkan kami harus memastikan obat, biskuit, baju kami tetap kering, lagipula tidak ada yang sanggup menjamin bahwa kami tidak ditemani sang reptil dikala kami beraksi mengapung dengan gaya katak.
- Kita harus menghindari air pasang lantaran pesisir pantai menuju ke Salarem seolah dipagari oleh "dinding" merah vertikal memanjang. Sehingga harus berjalan dikala surut semoga tidak terjebak antara dinding merah dan maritim kalau pasang tiba (kecuali kalau kita pusling dengan Spiderman yang sanggup nemplok di dinding merah Salarem)
- Dan ini alasan terpenting: Bila air sedang pasang, kita akan kehilangan momen untuk berfoto-foto dengan dinding merah Salarem yang terpahat indah. Hahaha itulah sebabnya baik perjalanan tiba maupun pulang harus dilakukan sewaktu air surut.
Aku mempercayakan perhitungan pasang surut pada perawatku yang memang sudah ahli. Oh iya, di Puskesmas Batugoyang semua perawatnya perempuan, sehingga porsi bagasi ku juga cukup mantap untuk diangkut di punggung.
Perjalanan diawali dengan berjalan menuju pantai timur Batugoyang, butuh sekitar 40 menit jalan kaki untuk mencapai Marjugir (Sungai pertama dan dikelilingi rawa). Sedapat mungkin kami menyebrang di muara sungainya dekat maritim yang melandai dengan dasar pasir putih. Hindarilah melewati sisi rawa nya yang serupa kolam lumpur walaupun kita sanggup berburu kepiting-kepiting besar disana, lantaran sanggup jadi kita selain berburu juga diburu oleh buaya disana. Bila maritim sedang surut ketinggian air paling hanya sebetis hingga paha, tapi jangan coba lewat kalau pasang naik tiba.
Setelah berbasah-basah ria di Marjugir, maka kami melanjutkan perjalanan hingga menemukan sungai kecil kedua (Sirgway Jugir). Inilah batas antara Batugoyang dan Salarem. Sungai kecil itu seolah ialah "Papan Selamat Datang" menuju pemandangan indah yang akan kami nikmati sepanjang program jalan kaki ke Salarem.
Salarem, Kepulauan Aru |
Perjalanan yang normalnya tinggal satu jam lebih sanggup ngaret hingga dua kali lipat jawaban keasikan foto-foto dan lupa Pusling. Apalagi kalau ternyata air surut jatuh pada sore hari, kita bahkan piknik sambil istirahat disini. Lain halnya kalau surut jatuh pada sempurna tengah hari maka perjalanan akan menderita hahaha.
Jika kita melihat pribadi tebing di Salarem, yang pertama kita ingat ialah Grand Canyon. Walaupun tidak berliku-liku dan hanya berjajar mirip pagar di pesisir, namun kadang kontur tebingnya ibarat candi-candi yang karam di bebatuan merah tersebut. Kadang warna hijau tanaman tikar menciptakan citra kontras dengan latarbelakang merahnya tebing di sana.
Salarem terletak di atas tebing-tebing merah tersebut. Merupakan sebuah desa dengan jumlah penduduk 700an (th. 2007). Hampir 80% penduduk desa ini beragama Katolik, sisanya Protestan. Karena pesisir pantainya yang cenderung kurang dekat dan berombak kencang maka sektor perikanan kurang mayoritas di sana. Mereka cenderung berkebun, memangkur sagu dan berburu di hutan. Hasil kebun dan maritim mereka bawa dan jual ke Meror, yang merupakan ibukota kecamatan. Roda perekonomian kurang berputar di desa ini bahkan banyak penduduknya yang sanggup kita golongkan sebagai masyarakat miskin.
Kunjungan pasien dikala kami Pusling di tempat ini cukup tinggi. Selalu di atas 50 pasien dan belum termasuk Posyandu, sehingga kami harus menginap di rumah kepala desa tiap kami turun Pusling lantaran kelelahan. Malaria merupakan penyakit yang lazim kami tangani dikala Pusling dan angka kurang gizi di tempat ini cukup banyak.
Sebenarnya dari sisi pariwisata, kawasan ini sangat berpotensi. Namun aksesnya yang sulit menjadi hambatan yang besar. Dari peta sanggup kita lihat bahwa Salarem terletak sangat jauh dar Dobo (ibukota dan pintu gerbang transportasi ke Aru). Diperlukan sekitar 14 jam perjalanan maritim memakai kapal kayu untuk meraihnya. Dengan speedboat, mungkin sanggup ditempuh dalam 4 jam. Kondisi kepulauan dan tanah yang berawa menyulitkan bagi pembangunan saluran jalan darat di kabupaten ini. Transportasi maritim masih menjadi moda transportasi andalan di Kabupaten ini yang menghubungkan desa-desa sepanjang pesisir pantainya.
Dengan tebing-tebing merahnya yang menjulang memanjang sejauh mata memandang, jika seorang bertanya padaku : "Selama PTT di Aru mana desa yang paling indah pemandangannya?" Tanpa pikir panjang saya akan jawab : "Salarem".
Perbandingan ukuran insan dengan bukit merah Salarem |
Me, in Salarem |
Related articles :
Longgar dan Apara -2 Desa di Tepian Indonesia-
Hymn to the Sea and Sky
A Journey Through Aru Island
0 Komentar untuk "Salarem, Grand Canyon Nya Maluku"