SEJARAH PUASA RAMADHAN
Puasa di bulan Ramadhan gres diperintahkan pada tahun ke-2 sehabis Hijrah (pindah dari Mekah ke Madinah). Pada bulan Ramadhan tahun itu juga terjadi perang besar yang pertama di antara kaum Muslimin dan musyrikin Makkah, adalah perang badar. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu berkata, “Kami berperang dalam dua pertempuran bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada bulan Ramadhan, adalah pada hari Badr dan Fathu Makkah (penaklukkan Kota Makkah), maka kami tidak berpuasa pada kedua hari itu” (HR Turmidzi)
Didalam sejarah disebutkan bahwa perintah berpuasa di bulan Ramadhan telah diumumkan semenjak bulan Sya’ban pada tahun tersebut. Begitu pula satu atau dua hari sebelum Iedul Fitri pada tahun itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para sahabat untuk mengeluarkan zakat fitrah. Dan pada hari Ied, Nabi dan para Sahabat keluar untuk mengerjakan solat Ied. Ketika itulah hal-hal tersebut dilakukan untuk pertama kalinya di tengah kaum Muslimin di Madinah. Pada bulan itu juga, kurang lebih pada tanggal 17 Ramadhan, kaum Muslimin berperang menghadapi musyrikin Makkah di Badr. Allah memberi mereka kemenangan besar di Badr, sehingga mereka menyambut Hari Raya Iedul Fitri pada tahun itu dengan dua kemenangan.
Sejak turunnya perintah berpuasa tersebut sampai ke hari ini, kaum Muslimin selalu melaksanakan kewajiban puasa, menahan lapar dan dahaga serta menahan hawa nafsu, semenjak subuh sampai waktu maghrib sepanjang 29 atau 30 hari bulan Ramadhan. Tidak ada yang tidak menjalankannya kecuali orang-orang yang mempunyai udzur syar’i (alasan) di antara mereka atau orang-orang yang ada penyakit di hatinya (yang terakhir ini pun biasanya tidak melaksanakan pelanggarannya secara terbuka).
Banyak insiden penting terjadi pada bulan ini.
Selain Perang Badar, sebagaimana telah disinggung di atas, insiden penaklukkan Kota Makkah juga terjadi pada bulan Ramadhan. Sekitar tanggal 10 Ramadhan tahun 8 Hijriah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat meninggalkan Madinah menuju Makkah bersama 10.000 tentara. Seminggu kemudian mereka memasuki Makkah dan menguasainya nyaris tanpa pertempuran. Dengan begitu, seakan-akan Ramadhan menjadi pembuka dan epilog terjadinya peperangan besar antara kaum Muslimin Madinah dan kaum musyrikin Makkah pada masa itu.
Begitu pula halnya, ibadah puasa Ramadhan pada hakikatnya merupakan satu bentuk peperangan besar antara diri kita dan hawa nafsu.Dan dikala kita berhasil memenangkan peperangan itu, kita pun merayakan ke-fitri-an diri sempurna sehabis keluar dari madrasah Ramadhan. Setiap kali kita berbuka puasa (fathara), badan kita dalam keadaan siap mendapatkan masakan dengan rasa nikmat yang besar. Saat kita kembali kepada fitrah di penghujung Ramadhan, jiwa kita semestinya juga dalam keadaan siap sepenuhnya untuk mendapatkan curahan ilmu, iman, serta kasih saying dari-Nya. Sehingga ruhani kita pun sanggup tumbuh sehat dan naik tinggi kepada-Nya.
PUASA NABI DI 10 HARI TERAKHIR RAMADHAN
3. Melakukan I'tikaf.
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir yang di dalamnya dicari Lailatul Qadar untuk menghentikan aneka macam kesibukannya, mengosongkan pikirannya dan untuk mengasingkan diri demi bermunajat kepada Tuhannya, berdzikir dan berdo'a kepada-Nya. Mengasingkan diri yang disyari'atkan kepada umat ini adalah dengan i'tikaf di dalam masjid-masjid
Materi telah selesai, kini waktunya melaksanakan penilaian online.
silakan Klik Mulai.
TERIMA KASIH.
Puasa di bulan Ramadhan gres diperintahkan pada tahun ke-2 sehabis Hijrah (pindah dari Mekah ke Madinah). Pada bulan Ramadhan tahun itu juga terjadi perang besar yang pertama di antara kaum Muslimin dan musyrikin Makkah, adalah perang badar. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu berkata, “Kami berperang dalam dua pertempuran bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada bulan Ramadhan, adalah pada hari Badr dan Fathu Makkah (penaklukkan Kota Makkah), maka kami tidak berpuasa pada kedua hari itu” (HR Turmidzi)
Sejak turunnya perintah berpuasa tersebut sampai ke hari ini, kaum Muslimin selalu melaksanakan kewajiban puasa, menahan lapar dan dahaga serta menahan hawa nafsu, semenjak subuh sampai waktu maghrib sepanjang 29 atau 30 hari bulan Ramadhan. Tidak ada yang tidak menjalankannya kecuali orang-orang yang mempunyai udzur syar’i (alasan) di antara mereka atau orang-orang yang ada penyakit di hatinya (yang terakhir ini pun biasanya tidak melaksanakan pelanggarannya secara terbuka).
Banyak insiden penting terjadi pada bulan ini.
Selain Perang Badar, sebagaimana telah disinggung di atas, insiden penaklukkan Kota Makkah juga terjadi pada bulan Ramadhan. Sekitar tanggal 10 Ramadhan tahun 8 Hijriah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat meninggalkan Madinah menuju Makkah bersama 10.000 tentara. Seminggu kemudian mereka memasuki Makkah dan menguasainya nyaris tanpa pertempuran. Dengan begitu, seakan-akan Ramadhan menjadi pembuka dan epilog terjadinya peperangan besar antara kaum Muslimin Madinah dan kaum musyrikin Makkah pada masa itu.
Begitu pula halnya, ibadah puasa Ramadhan pada hakikatnya merupakan satu bentuk peperangan besar antara diri kita dan hawa nafsu.Dan dikala kita berhasil memenangkan peperangan itu, kita pun merayakan ke-fitri-an diri sempurna sehabis keluar dari madrasah Ramadhan. Setiap kali kita berbuka puasa (fathara), badan kita dalam keadaan siap mendapatkan masakan dengan rasa nikmat yang besar. Saat kita kembali kepada fitrah di penghujung Ramadhan, jiwa kita semestinya juga dalam keadaan siap sepenuhnya untuk mendapatkan curahan ilmu, iman, serta kasih saying dari-Nya. Sehingga ruhani kita pun sanggup tumbuh sehat dan naik tinggi kepada-Nya.
PUASA NABI DI 10 HARI TERAKHIR RAMADHAN
Dalam Shahihain disebutkan, dari Aisyah radhiallahu 'anha, ia berkata : "Bila masuk sepuluh (hari terakhir bulan Ramadhan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengencangkan kainnya menjauhkan diri dari menggauli istrinya), menghidupkan malamnya dan membangunkan Keluarganya." Demikian berdasarkan lafazh Al-Bukhari. Adapun lafazh Muslim berbunyi : "Menghidupkan malam(nya), membangunkan keluarganya, dan bersungguh-sungguh serta mengencangkan kainnya.
Dalam riwayat lain, Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah radhiallahu anha :
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersungguh-sungguh dalam sepuluh (hari) simpulan (bulan Ramadhan), hal yang tidak dia lakukan pada bulan lainnya."
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengkhususkan sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dengan amalan-amalan yang tidak dia lakukan pada bulan-bulan yang lain, di antaranya:
1. Menghidupkan malam dengan ibadah.
2. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membangunkan keluarganya untuk shalat pada malam-malam sepuluh hari terakhir, sedang pada malam-malam yang lain tidak. Dalam hadits Abu Dzar radhiallahu 'anhu disebutkan : "Bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasalam melaksanakan shalat bersama mereka (para sahabat) pada malam dua puluh tiga (23), dua puluh lima (25), dan dua puluh tujuh (27) dan disebutkan gotong royong dia mengajak (shalat) keluarga dan isteri-isterinya pada malam dua puluh tujuh (27) saja.
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir yang di dalamnya dicari Lailatul Qadar untuk menghentikan aneka macam kesibukannya, mengosongkan pikirannya dan untuk mengasingkan diri demi bermunajat kepada Tuhannya, berdzikir dan berdo'a kepada-Nya. Mengasingkan diri yang disyari'atkan kepada umat ini adalah dengan i'tikaf di dalam masjid-masjid
Materi telah selesai, kini waktunya melaksanakan penilaian online.
silakan Klik Mulai.
TERIMA KASIH.
0 Komentar untuk "Materi Tarikh"