Peranan Guru Terhadap Anak Didik

Peranan guru terhadap murid-muridnya merupakan kiprah vital dari sekian banyak kiprah yang harus ia jalani. Hal ini dikarenakan komunitas utama yang menjadi wilayah kiprah guru ialah di dalam kelas untuk memperlihatkan keteladanan, pengalaman serta ilmu pengetahuan kepada mereka. Begitupun peranan guru atas murid-muridnya tadi sanggup dibagi menjadi dua jenis berdasarkan situasi interaksi sosial yang mereka hadapi, yakni situasi formal dalam proses berguru mengajar di kelas dan dalam situasi

informal di luar kelas.


Dalam situasi formal, seorang guru harus sanggup menempatkan dirinya sebagai seorang yang memiliki kewibawaan dan otoritas tinggi, guru harus sanggup menguasai kelas dan sanggup mengontrol anak didiknya. Hal ini sangat perlu guna menunjang keberhasilan dari tugas-tugas guru yang bersangkutan yakni mengajar dan mendidik murid-muridnya. Hal-hal yang bersifat pemaksaan pun kadang perlu dipakai demi tujuan di atas. Misalkan pada dikala guru memberikan bahan berguru padahal waktu ujian sangat mendesak, pada dikala bersamaan ada seorang murid ramai sendiri sehingga menganggu suasana berguru mengajar di kelas, maka guru yang bersangkutan memaksa anak tadi untuk membisu sejenak hingga pelajaran simpulan dengan cara-cara tertentu.

Tentunya hal di atas juga harus disertai dengan adanya keteladanan dan kewibawaan yang tinggi pada seorang guru (situasi informal). Keteladanan sangatlah penting. Hal ini sejalan dengan teori “Mekanisme Belajar” yang disampaikan David O Sears (1985) bahwa ada tiga prosedur umum yang terjadi dalam proses berguru anak. Yang pertama ialah asosiasi atau classical condotioning ini berdasarkan dari percobaan yang dilakukan Pavlov pada seekor anjing. Anjing tersebut berguru mengeluarkan air liur pada dikala bel berbunyi sebab sebelumnya disajikan daging setiap dikala terdengar bel. Setelah beberapa saat, anjing itu akan mengeluarkan air liur bila terdengar suara bel meskipun tidak disajikan daging, sebab anjing tadi mengasosiasikan bel dengan daging. Kita juga berguru berperilaku dengan asosiasi. Misalnya, kata “Nazi” biasanya diasosiasikan dengan kejahatan yang mengerikan. Kita berguru bahwa Nazi ialah jahat sebab kita telah berguru mengasosiasikannya dengan hal yang mengerikan.

Mekanisme berguru yang kedua ialah reinforcement, orang berguru menampilkan sikap tertentu sebab sikap itu disertai dengan sesuatu yang menyenangkan dan sanggup memuaskan kebutuhan (atau mereka berguru menghindari sikap yang disertai akibat-akibat yang tidak menyenangkan). Seorang anak mungkin berguru membalas penghinaan yang diterimanya di sekolah dengan mengajak sabung si pengejek sebab ayahnya selalu memperlihatkan kebanggaan bila ia membela hak-haknya. Seorang mahasiswa juga mungkin berguru untuk tidak menentang sang profesor di kelas sebab setiap kali ia melaksanakan hal itu, sang profesor selalu mengerutkan dahi, tampak murka dan membentaknya kembali.

Mekanisme berguru utama yang ketiga adalah imitasi. Seringkali orang mempelajari sikap dan sikap sosial dengan memalsukan sikap dan sikap yang menjadi model. Seorang anak kecil sanggup berguru bagaimana menyalakan perapian dengan memalsukan bagaimana ibunya melaksanakan hal itu. Anak-anak remaja mungkin memilih sikap politik mereka dengan memalsukan pembicaraan orang bau tanah mereka selama kampanye pemilihan umum. Imitasi ini sanggup terjadi tanpa adanya reinforcement eksternal dan hanya melalui observasi biasa terhadap model.


Di antara ketiga macam prosedur berguru di atas, imitasi ialah prosedur yang paling kuat. Dalam banyak hal bawah umur cenderung memalsukan sikap orang remaja dan selain orang bau tanah si anak, guru di sekolah merupakan orang remaja terdekat kedua bagi mereka. Bahkan di zaman kini ini banyak terjadi perkara anak lebih memiliki kepercayaan terhadap guru dibanding pada orang bau tanah mereka sendiri. Maka dari itulah seorang guru harus sanggup memperlihatkan sikap dan keteladanan yang baik di hadapan murid-muridnya, supaya dikemudian hari tidak akan ada istilah ‘guru kencing berdiri, murid kencing berlari’.

Selain keteladanan, kewibawaan juga perlu. Dengan kewibawaan guru menegakkan disiplin demi kelancaran dan ketertiban proses berguru mengajar. Dalam pendidikan, kewibawaan merupakan syarat mutlak mendidik dan membimbing anak dalam perkembangannya ke arah tujuan pendidikan. Bimbingan atau pendidikan hanya mungkin bila ada kepatuhan dari pihak anak dan kepatuhan diperoleh bila pendidik memiliki kewibawaan.  Kewibawaan dan kepatuhan merupakan dua hal yang komplementer untuk menjamin adanya disiplin

Related : Peranan Guru Terhadap Anak Didik

0 Komentar untuk "Peranan Guru Terhadap Anak Didik"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)