Kanjeng Ratu Nyai (Nyi) Roro Kidul

 pencipta Bedhaya Ketawang yaitu Sultan Agung KANJENG RATU NYAI (NYI) RORO KIDUL

Menurut kitab Wedhapradangga, pencipta Bedhaya Ketawang yaitu Sultan Agung. Meskipun demikian kepercayaan tradisional meyakini, tarian ini diciptakan oleh Kanjeng Ratu Kidul sendiri. Menariknya, Sunan Kalijaga sebagai juru syiar Islam di tanah Jawa diceritakan ikut memperlihatkan patokan-patokan ketika membuat titi nada gending pada tarian tersebut.

Pandangan kosmologi Jawa meyakini adanya kesejajaran antara makrokosmos (jagat gede) dan mikrokosmos (jagat cilik). Menurut kepercayaan ini, keseluruhan tatanan sosial yang terdiri dari masyarakat luas di luar benteng kraton, para abdi dalem, dan lapisan kelompok para priyayi, serta berpuncak hirarkis pada diri raja, pada derajat tertentu merupakan representasi kosmis itu sendiri. Sekalipun dimaknai demikian, secara simultan tatanan sosial juga selalu berada di bawah efek daya-daya kosmis alam semesta.

Dalam kerangka konsepsi Dewa-Raja atau Ratu-Binanthara inilah, kesanggupan seorang raja untuk mengharmoniskan keseluruhan tatanan sosial dan sekaligus daya-daya kosmis alam semesta, ialah kata kunci sanggup atau tidaknya menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakatnya.

Sedangkan bicara perihal daya-daya kosmis, selain didasarkan pada wahyu, daya kosmis lainnya ialah restu para leluhur tanah Jawa dan pusaka. Dalam konteks inilah, bicara restu leluhur tanah Jawa sudah tentu bukan hanya satu dan tunggal. Namun begitu, salah satu mitos yang diyakini berpengaruh oleh masyarakat Jawa ialah Kanjeng Ratu Kidul.

Bagaimana menonjolnya mitos Kanjeng Ratu Nyai (Nyi) Roro Kidul, tanpa mengenal mitos ini orang tidak bakalan sanggup memahami makna tarian sakral Bedhaya Ketawang; juga makna artefak bangunan Panggung Sanggabuawana di Kraton Surakarta; tak kecuali adanya folklore tentang jin bernama lampor maupun ritus sedekah laut yang lazim dilakukan masyarakat Jawa di sepanjang tempat pesisir Samudra Hindia.

Merujuk artikel Robert Wessing yang berjudul “A Princess from Sunda: Some Aspects of Nyai Roro Kidul,” Asian Folklore Studies Vol. 56 tahun 1997, setidaknya ditemui beberapa versi sejarah. Menurut Wessing, sebagai seorang putri Sunda, umumnya Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul diceritakan sebagai puteri penguasa kerajaan Pajajaran di Jawa Barat, meskipun perihal siapa ayahnya ada beberapa nama mengemuka. Ada yang menyebutkan Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul  ialah putri dari Prabu Mundingsari, lainnya menyebut nama Prabu Munding Wangi, atau juga disebut nama Prabu Siliwangi maupun Prabu Cakrabuwana.

Selain Pajajaran, dongeng lain mengisahkan asal-usul Kanjeng Ratu Nyai (Nyi) Roro Kidul ialah kerajaan Galuh. Prabu Sindhula dari kurun ke-13 merupakan ayahnya. Tempat asal lainnya yang disebutkan ialah kerajaan Kediri di Jawa Timur, ketika diperintah oleh “Notradamus Jawa” yaitu yang legendaris, Raja Jayabaya; atau bahkan berasal dari kerajaan yang lebih tua, Kahuripan, diperintah oleh Raja Airlangga juga berlokasi di Jawa Timur. Namun demikian dari semua kisah itu, bagaimanapun kerajaan Pajajaran merupakan asal-usul Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul  yang paling sering disebutkan.

Bagaimana kisah terjadinya transformasi dari seorang putri menjadi Dewi Samudra juga muncul banyak versi. Kisah paling umum menuturkan, ia yaitu seorang puteri manis yang, lantaran sihir ibu tirinya yang jahat dan cemburu, terserang penyakit kulit. Sakit kulit itu membawa anyir yang menjijikkan sehingga memaksanya meninggalkan istana, dan pergi mencari pinjaman ke hutan. Beberapa kisah mengatakan, dibalut murung yang mendalam puteri itu kemudian bermeditasi dan moksha.

Merujuk Poerbatjaraka dan Woodward, Wessing mencatat versi lain. Konon diceritakan, permaisuri raja Galuh melahirkan anak perempuan. Keanehan muncul, ia laiknya Yesus semenjak usia bayi sudah sanggup bicara dan berkata:

“Aku Ratu Ayu, akulah penguasa semua lelembut di Tanah Jawa. Istanaku berada di Laut Kidul.”

Raja Sidhula, yaitu raja Galuh yang telah usang meninggal, dikisahkan kemudian muncul memberi tanda dan bersabda bahwa puteri itu ialah cucunya. Untuk menjaga kesuciannya ia tidak akan pernah menikah hingga nanti tiba saatnya seorang raja Muslim muncul dan memerintah Jawa. Sosok inilah yang nanti jadi suaminya.

Menunggu dua kurun lebih, hingga suatu ketika datanglah Panembahan Senapati, pendiri wangsa Mataram-Islam. Historigrafi Jawa yaitu Babad Tanah Jawa meriwayatkan, bagaimana Panembahan Senopati mula pertama bertemu dengan Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul. Pertemuan yang bermuara menjadi kekerabatan percintaan ini mengawali kisah, di mana Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul bukan hanya menjadi “istri” Panembahan Senopati, melainkan juga raja-raja Mataram-Islam penerusnya.

Awalnya dikisahkan ia pergi bertapa di Sungai Opak (bahasa Jawa: kungkum), kemudian berenang (tapa ngeli) ke arah muara hingga mencapai Pantai Selatan. Sampai di sana Panembahan Senapati meneruskan bertapa dan memohon petunjuk untuk memenangkan peperangan melawan Sultan Hadiwijaya di Pajang. Konon, berkat ketekunan bertapa membuat Samudera Hindia bergolak. Istana mistik tempat singgasana Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul  menjadi porak-peranda lantaran kekuatan meditasi sang perjaka itu.

Walhasil, Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul  pun muncul. Namun pucuk dicinta ulam tiba, Kanjeng Ratu Nyai (Nyi) Roro Kidul justru tertegun dan terpesona melihat seorang perjaka gagah tengah bermeditasi. Dia pribadi jatuh hati dan bersimpuh di kaki Panembahan Senapati. Setelah bercinta tiga hari tiga malam di istana mistik Laut Selatan, Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul  berjanji akan membantu Penembahan Senapati dan anak cucu keturunannya.

Menurut De Graaf, Ki Ageng Pemanahan tercatat meninggal di tahun 1583, dan sebagai gantinya ialah putranya Panembahan Senopati. Jika pembacaan De Graaf itu valid, menarik disimak pernyataan Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang berkuasa pada 1940–1988, terhitung hampir berselang empat kurun kemudian semenjak Panembahan Senopati.

Dalam biografinya “Tahta untuk Rakyat” yang disusun oleh Atmakusumah (editor), ketika diwawancarai dan ditanya apakah benar ia yaitu "suami" dari Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul  dan apakah pernah "berhubungan" dengannya, Sultan Hamengku Buwono IX menjawab:

“Menurut kepercayaan usang memang demikianlah halnya. Saya menyebutnya Eyang Rara Kidul saja. Dan saya pernah menerima kesempatan "melihatnya" sehabis menjalani ketentuan yang berlaku ibarat berpuasa selama beherapa hari dan sebagainya. Pada waktu bulan naik, Eyang Rara Kidul akan tampak sebagai gadis yang amat cantik; sebaliknya apabila bulan menurun, ia tampil sebagai perempuan yang makin tua.”

Ketimbang “istri”, pada anak cucu penerus Panembahan Senapati sehabis memasuki kurun ke-20, posisi Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul  tampaknya lebih berfungsi sebagai pepunden atau pamomong, atau sebutlah itu leluhur. Demikianlah catatan Jhon Pemberton dalam bukunya On The Subject of Java perihal dongeng popular di Solo. Masyarakat Solo beranggapan raja sebagai “suami” Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul  hanya hingga masa Paku Buwono IX.

Konon, diceritakan Paku Buwono X suatu ketika tengah naik ke Panggung Sanggabuwono. Tempat ini merupakan ruang pertemuan antara Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul dan Susuhunan. Di dalam bilik itu disediakan dingklik dan pakaian serta sesaji untuk Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul. Diceritakan suatu ketika PB X terpeleset ketika menaiki tangga bangunan itu, dan Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul berucap kaget: “….Ooo, kepiye ngger!?” (Ooo, bagaimana kamu nak!?). Nah, gara-gara dipanggil “ngger” itulah, Paku Buwono X tak pernah lagi dianggap sebagai “suami” Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul.

Pemberton juga mempunyai catatan lain yang menarik. Paku Buwono yang memerintah pada 1823--1830, ibarat diketahui dibuang ke Ambon oleh Pemerintah Hindia Belanda lantaran tertangkap tangan mendukung pemberontakan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825--1830). Pemberton mencatat, salah satu alasan berpengaruh Belanda untuk membuang Susuhunan ini dikarenakan ia diketahui sering “berkunjung dan menemui” KRT hingga menerima tuduhan tengah merencanakan sebuah makar.

Menarik juga dicermati, sekalipun keberadaan Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul  katakanlah lekat dengan sejarah wangsa Mataram-Islam, ritus sedekah laut bukan hanya dilakukan oleh institusi keraton. Melainkan, juga dilaksanakan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir selatan Pulau Jawa. Ini artinya, masyarakat luas juga merasa mempunyai Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul sebagai penguasa dan pelindung hidup mereka.

Itulah sebabnya pelbagai ritus terhadap Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul nisbi sering dilakukan oleh orang Jawa. Dari yang sifatnya pribadi hingga yang sifatnya kolektif atau massal. Pewaris Mataram-Islam, sebutlah Kasultanan di Yogyakarta, hingga sekarang setahun sekali masih melakukan upacara labuhan.

Kata labuhan berarti membuang barang-barang tertentu di maritim atau kawah gunung sebagai sesaji. Barang yang dilabuh, antara lain, seperangkat pakaian untuk Kanjeng Ratu Nyai (Nyi) Roro Kidul. Pakaian dan kebutuhan perempuan itu berupa kain panjang, semekan atau kain tutup dada, tusuk konde dan aneka macam macam pakaian perempuan beserta perlengkapan lain ibarat param, ratus, minyak cendana, dan penggalan uang logam.

Bukan hanya ritus labuhan, kraton juga mengenal ritus sakral lain berupa pementasan Tari Bedhaya Ketawang. Menurut Kitab Wedhapradangga, pencipta tarian ini yaitu Sultan Agung, raja paling agung yang berkuasa pada 1613--1645. Meskipun demikian kepercayaan tradisional meyakini, tarian ini diciptakan oleh Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul  sendiri. Wajar saja, tarian ini bukan hanya semata sakral, tapi juga bahkan dianggap sebagai pusaka.

Menariknya, Sunan Kalijaga sebagai juru syiar Islam di tanah Jawa juga ikut memperlihatkan patokan-patokan ketika membuat titi nada gending tarian tersebut. Titi nada gamelan itu disebut diberi nama Gending Ketawang Gedhe berlaras pelog pathet 5.

Tari ini melukiskan proses jatuh cintanya Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul  pada Panembahan Sanapati. Segala gerakannya melukiskan bujuk rayu dan cumbu birahi. Untuk itu KRT memohon Sinuhun tidak tergesa pulang, namun Sinuhun tidak mau. Dia masih ingin mencapai “sangkan paran dumadi”, yaitu hakikat kemanunggalan diri dengan Tuhan.

Namun Panembahan Senapati berkenan memperistri Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul, bahkan komitmen hingga turun-temurun. Siapa saja keturunannya yang bertahta di tanah Jawa akan mengikat komitmen dengan Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul pada detik kenaikan tahtanya (jumenengan nata). Karena itulah tarian sakral ini hanya ditarikan ketika peresmian raja atau peringatan momen tersebut di setiap tahunnya.

Konon, ketika tarian sakral ini ditarikan Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul selalu hadir dan turut menari di antara sembilan penari lainnya. Bahkan Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul jugalah yang konon mengajar secara pribadi Tari Bedhaya Ketawang pada penari-penari kesayangan raja tersebut.





= Baca Juga =



Related : Kanjeng Ratu Nyai (Nyi) Roro Kidul

0 Komentar untuk "Kanjeng Ratu Nyai (Nyi) Roro Kidul"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)