WWW.INFOKEMENDIKBUD.WEB.ID –“Kamu dengerin saya ngomong enggak?” ujar seorang guru dengan nada tinggi. Kalimat yang biasa diucapkan orangtua atapun guru pada siswanya tersebut diikuti gelak tawa puluhan guru dalam Class Series Jabar Masagi di Dinas Pendidikan.
Mereka memuji akting guru tersebut ketika diminta Psikolog Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Ifa H Misbach, mempraktekan kalimat yang harus dihindari orangtua dan guru pada anak maupun siswanya. “Itu jenis pertanyaan retoris. Pertanyaan yang tidak memerlukan tanggapan bahkan disertai bullying verbal,” ujar Ifa ketika membawakan materi “Mengapa Remaja Suka Memberontak?”.
SD Filial di Samarinda Miliki 17 Siswa dan 2 Guru Ifa mengungkapkan, kalimat tersebut bisa diganti menjadi “Bolehkah kau mendengar saya yang sedang bicara?” dengan nada lebih rendah. Bila dipraktekkan ke anak dalam keseharian, bisa memperlihatkan perubahan yang luar biasa untuk pendidikan huruf anak. “Itu hanya rujukan kecil. Ada sembilan jenis pertanyaan yang harus dihindari,” ungkapnya.
Kesembilan pertanyaan tersebut tanpa disadari mengandung makna menghakimi, mendikte, menyindir, merendahkan harga diri, membandingkan, menyalahkan, mengancam, dan menyudutkan orang. Baca juga: Kisah Guru di Pedalaman Papua, Gaji Habis Beli Air dan Minyak Tanah Peraturan menciptakan sekolah seolah penjara Idealnya, sambung Ifa, pendidikan memperlihatkan ruang keberagaman bagi siswa.
BACA JUGA : KURIKULUM HARUS MEMERDEKAKAN GURU, INILAH PENJELASAN MENDIKBUD NADIEM ANWAR MAKARIM
BACA JUGA : KURIKULUM HARUS MEMERDEKAKAN GURU, INILAH PENJELASAN MENDIKBUD NADIEM ANWAR MAKARIM
Apalagi siswa berangkat dari keluarga yang berbeda dengan keunikan dan potensi yang berbeda pula. Guru berfungsi sebagai instruktur emosi yang membantu siswa menjadi bagja (bahagia). Guru bertugas untuk menemukan potensi keunikan dan kekuatan siswa yang beragam. Namun dalam praktiknya, pendidikan menyeragamkan. Salah satunya melalui peraturan yang mengeneralisir siswa. Akibatnya, siswa yang tidak bisa matematika dianggap bodoh. Padahal minat dan talenta siswa di seni atau olahraga.
Ke Sekolah Jalan Kaki 2 Km, 10 Tahun Mengajar Digaji Rp 800.000 Hingga akhirnya, pada sebagian anak mereka tidak tahu talenta dirinya apa dan menjadi imitasi orang lain. Sebagian siswa lainnya merasa, ketika tidak menerima proteksi dan keunikannya tidak diapresiasi, mereka akan mencari pergaulan yang bisa mendapatkan dirinya. Sehingga sekolah seolah menjadi penjara. “Menurut Rudolf Dreikurs, belum dewasa yang berperilaku jelek bersama-sama yaitu belum dewasa yang tidak mendapatkan proteksi dari orang dewasa,” imbuhnya.
untuk Seluruh Siswa Guru yang tak berdaya Persoalannya, banyak guru merasa terkerangkeng sistem dengan penyeragaman hukum hingga sasaran nilai ujian nasional (UN) yang tinggi. Kondisi ini menciptakan guru merasa tidak berdaya.
Hal itu diakui salah satu penerima pelatihan, guru BP SMAN 20 Bandung, Euis Sopiah. Ia mengatakan, hukum di sekolah menyeragamkan setiap anak. Kondisi ini terkadang berbenturan dalam memperlihatkan pelayanan kepada siswa yang mempunyai potensi beragam.
“(Pelatihan) ini sangat berguna. Karena selama ini di lapangan, kita mendidik anak untuk mempunyai huruf baik tapi pengetahuan kita belum sesuai. Bagaimana mendampingi siswa sesuai dengan potensinya, keberagaman, dan keunikannya,” tuturnya.
Ibu Guru, Kami Takut Meja Patah Tantangan: siswa senang lahir dari guru yang senang Koordinator Komunitas Guru Jabar Masagi Wita Roswita mengatakan, tantangan untuk guru ketika ini yaitu ketidakmerdekaan. Mereka merasa tidak punya cukup daya untuk menciptakan perubahan di lapangan.
“Misal pendidikan huruf atau jadwal apapun yang diinisiasi pemerintah ataupun non pemerintah, kadang selalu dihayati sebagai beban tambahan. Karena sehari-hari saja sudah dibebani beban administrasi, tuntutan untuk meloloskan anak dengan nilai ujian tinggi,” ungkapnya. Untuk itulah, kelas-kelas menyerupai ini diadakan, selain training yang secara khusus diberikan pada 21 sekolah terpilih di Jabar.
Risma: Kalau Enggak Dapat Aku yang Ngajar Lewat kelas ini, pihaknya ingin membangun keberdayaan guru. Guru tidak merasa hopeless, mempraktekkan isi dari training tersebut, dan melaksanakan perubahan sekecil apapun. “Kami berharap dari kelas-kelas ini terbentuk komunitas guru yang saling menguatkan (support system) menuju pendidikan huruf yang lebih baik,” imbuhnya.
Sebab siswa yang senang akan lahir dari guru yang bahagia. Itulah yang ketika ini terus diperjuangkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Dinas Pendidikan dan Jabar Masagi. “Hasilnya di luar ekspektasi. Banyak guru yang daftar kelas ini dari aneka macam daerah, meski harus mengeluarkan biaya sendiri,” pungkasnya.
Sumber : kompas.com
Demikian informasi dan informasi terkini yang sanggup kami sampaikan. Silahkan like fanspage dan tetap kunjungi situs kami di WWW.INFOKEMENDIKBUD.WEB.ID, Kami senantiasa memperlihatkan informasi dan informasi terupdate dan teraktual yang dilansir dari aneka macam sumber terpercaya. Terima Kasih atas kunjungan anda agar informasi yang kami sampaikan ini bermanfaat.
0 Komentar untuk "Aturan Bikin Sekolah Seolah Penjara, Guru Tak Berdaya, Siswa Pun Tak Bahagia"