Toleransi dalam Islam sudah ada semenjak dulu, yaitu semenjak zaman nabi Muhammad SAW hingga sekarang. Kebenaran toleransi antar umat beragama dalam Islam seharusnya tidak diragukan lagi apalagi dengan adanya bukti-bukti yang telah diuraikan.
Dengan data-data tersebut tergambarlah bahwa perilaku nrimo umat Islam, baik yang ditunjukkan oleh Rasulullah, para sobat serta para pejuang Islam ketika menyiarkan agama Islam yang berhadapan dengan agama lain sangatlah tinggi, alasannya meskipun mereka dihina atau disakiti mereka tetap damai saja dan selalu bersikap ramah tamah terhadap orang yang menyakitinya itu.
Hal inilah yang menciptakan orang-orang non Muslim tertarik dan kagum dengan agama Islam, yang jadinya membawa mereka untuk ikut dan memeluk agama yang dibawa oleh nabi Muhammad saw.
Toleransi mengandung pengertian kesediaan mendapatkan kenyataan pendapat yang berbeda-beda perihal kebenaran yang dianut. Dapat menghargai keyakinan orang lain terhadap agama yang dipeluknya serta memberi kebebasan untuk menjalankan apa yang dianutnya. Toleransi antar umat beragama sanggup diwujudkan dalam bentuk Saling menghormati, memberi kebebasan kepada pemeluk agama lain dalam menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, dan saling bersama-sama dalam hidup bermasyarakat.
Meskipun demikian antar umat beragama sanggup diwujudkan sebagaimana tersebut di atas, tetapi bukan berarti dalam melaksanakan toleransi ini dengan mencampur adukkan antara kepentingan sosial dan aqidah. Dalam melaksanakan toleransi ada batasan-batasan tertentu. Menurut Ali Machsum (Rais' Aam Nahdlatul Ulama) :
"Batasan toleransi itu ada berdasarkan keyakinannya masing-masing. Islam menghormati orang yang beragama Kristen, Budha, Hindu dan agama lainnya. Bukan lantaran beliau Kristen, Budha atau Hindu tapi Islam menghormati mereka sebagai umat Allah. Ciptaan Allah yang wajib dikasihi. Islam mewajibkan untuk saling menghormati sesama umat beragama, tapi akan murtad jika dengan itu membenarkan agama lain... ..." (Hasanuddin, 1420 H : 42).
Dari pendapat yang disampaikan oleh Ali Machsum, perihal batasan toleransi ini, menerangkan citra bahwa umat beragama bertoleransi dan menghormati orang lain (umat beragama lain) itu dengan tidak memandang apa agama yang dipeluk oleh orang tersebut melainkan dengan melihat bahwa beliau yaitu umat Allah atau ciptaan Allah yang wajib dikasihi dan dihormati alasannya sebagai umat beragama dan umat insan wajib saling meghormati dan mengasihi.
Toleransi tidak dibenarkan dengan mengakui kebenaran semua agama. Sebab orang salah kaprah dalam mengartikan dan melaksanakan toleransi. Misalnya, ada orang yang rela mengorbankan syari'at agama dengan tidak minta izin pada tamunya untuk sholat malah menunggui tamunya lantaran takut dibilang tidak toleransi dan tidak menghargai tamu. Bukan menyerupai ini yang diinginkan dalam toleransi itu, toleransi antar umat beragama yang dibutuhkan di sini yaitu toleransi yang tidak menyangkut bidang kepercayaan masing-masing agama. Melainkan hanya menyangkut amal sosial antar sesama insan sosial, sesama warga negara. sehingga tercipta persatuan dan kesatuan.
Setiap agama memiliki anutan sendiri-sendiri dan intinya tidak ada agama yang mengajarkan kejelekan kepada penganutnya. Salah satu tujuan pokok anutan agama yaitu pemeliharaan terhadap agama itu sendiri, yang antara lain menuntut peningkatan pemahaman umat terhadap anutan agamanya serta membentengi mereka dari setiap perjuangan pencemaran atau dampak lain yang menciptakan kepercayaan mereka tidak murni lagi (Quraish Shihab, 1992 : 368). Begitu juga dengan agama Islam, dari Allah SWT tidak menghendaki adanya pencampuran ajarannya dengan anutan lain. Oleh lantaran itu untuk mengatisipasi hal tersebut Islam telah menawarkan batasan-batasan pada umatnya dalam melaksanakan kekerabatan antar sesama manusia, apalagi dalam melaksanakan toleransi antar umat beragama.
Allah telah menurunkan kitab suci al-Qur'an kepada nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umat manusia, guna dijadikan pegangan dan pedoman hidup. Dalam kitab suci al-Qur'an inilah terdapat aturan perihal batasan-batasan dalam bertoleransi antar umat beragama bagi umat Islam. Toleransi antar umat beragama tidak boleh dilaksanakan dengan kaum atau golongan yang memusuhi umat Islam lantaran agama dan mengusir orang-orang Islam dari kampung halamannya, jika yang terjadi demikian maka umat Islam dihentikan untuk dekat dengan golongan tersebut. Bahkan dalam situasi dan kondisi yang demikian itu, Allah memerintahkan dan mewajibkan kepada umat Islam untuk berjihad dengan jiwa, raga dan harta bendanya untuk membela agamanya, hal ini dijelaskan dalam frman Allah SWT:
Artinya : "Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kau melampaui batas, lantaran sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas" (QS. Al-Baqarah : 190).
Di samping itu Allah juga menawarkan batasan toleransi itu hanya sebatas pada kepentingan sosial atau kepentingan duniawi saja, tidak boleh menyangkut pautkan dengan duduk kasus aqidah agama, hal ini dijelaskan dalam fiman Allah surat Al-Kafirun ayat 1-6 :
Artinya : "Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, saya tidak akan menyembah apa yang kau sembah. Dan kau bukan penyembah Tuhan yang saya sembah. Dan kau tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang saya sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku" (Qs. Al-Kafirun : 1-6).
Tafsir Al-Qur’an Kontemporer I karangan Aam Amiruddin:
Ayat 1. Yang dimaksud dengan “kafir” pada ayat 1, berasal dari kata “kufur”, artinya menutupi kebenaran, melanggar kebenaran yang telah diketahui, dan tidak berterima kasih. Kata “kafir” dan kata jadinya disebutkan 525 kali dalam Al-Qur’an. Semuanya mengacu pada perbuatan mengingkari Allah swt., menyerupai mengingkari nikmat-nikmat Allah, membangkang hukum-hukum Allah, meninggalkan perintah Allah yang telah diperintahkan.
Istilah “kafir” dalam pengertian terakhir ini, pertama kali dipakai dalam Al-Qur’an untuk menyebut para kafir Makkah (hlm. 83). Jadi, orang kafir yaitu mereka yang menolak, menentang, mendustakan, mengingkari, dan bahkan anti kebenaran. Seorang disebut kafir apabila melihat sinar kebenaran maka ia memejamkan matanya. Apabila mendengar seruan kebenaran, ia menutup telinganya. Ia tidak mau mempertimbangkan dalil apapun yang disampaikan padanya dan tidak bersedia tunduk pada sebuah argument meski telah mengusik nuraninya.
Konsekuensi kafir ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, antara lain dinyatakan:
Orang kafir akan mendapatkan azab yang keras di dunia dan akhirat
Orang kafir akan memperoleh kehinaan di dunia dan akhirat
Amal orang kafir akan gugur dan sia-sia
Ayat 2. Ayat ini dimulai dengan kata “laa” yang bermakna “tidak”. Kata ini dipakai untuk menafikan atau menolak sesuatu akan terjadi. Sedangkan kata “a’budu” yang biasa diartikan “menyembah, taat, dn tunduk” secara gramatikal memakai bentuk mudhari’. Jadi, penggunaan kata laa a’budu merupakan penegasan bahwa kini dan pada masa yang akan dating kita tidak akan menyembah, tunduk dan patuh pada apapun selain Allah.
Ini penegasan bahwa Islam mengharamkan umatnya untuk mencampuradukkan keimanan dan ritual Islam dengan agama manapun, apapun dalihnya.
Kita sering terperangkap dengan jebakan “toleransi antar umat beragama”, yang diartikan dengan mencampuradukkan ritual keagamaan. Bila kaum Nasrani natalan, kitapun dianjurkan mengikutinya. Padahal perilaku ini merupakan pengkhianatan terhadap keimanan dan ritual kita.
Makna toleransi yang sesungguhnya bukanlah mencampuadukkan keimanan dan ritual Islam dengan agama non Islam, tapi menghargai eksistensi agama orang lain. Kita tidak dihentikan melaksanakan kerjasama dengan non muslim dalam hal-hal yang berkaitan dnegan hal-hal dunia, contohnya kekerabatan bisnis ataupun studi. Bahkan ada ayat yang memerintahkan biar kita berlaku adil kepada siapa pun, termasuk kepada non muslim. Yakni dalam QS. Al-Maidah : 8
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kau Makara orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) lantaran Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kau untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, lantaran adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kau kerjakan.”
Jadi, dikala berinteraksi dengan non muslim, prinsip-prinsip toleransi, keadilan, dan kebenaran harus kita tegakkan. Namun untuk urusan yang berkaitan dengan kayakinan dan peribadatan, kita mengambil garis yang terang dan tegas.
Ayat 3. Ayat ini menjelaskan perihal perilaku toleransi yang paling murni. Kita tidak menginginkan umat Nasrani, Hindu dan Budha mengikuti dan melaksanakan anutan Islam menyerupai shalat Idul Fitri atau shalat Jum’at. Kita pun diharamkan mnegikuti ritual dan keyakinan mereka, menyerupai Natalan, Ngaben, atau pembaptisan.
Ayat 4 dan 5. Ayat ini mengandung makna bahwa saya tidak akan pernah beribadah menyerupai ibadahmu dan kau pun tidak perlu beribadah menyerupai ibadahku.
Ini merupakan implementasi atau perwujudan toleransi yang sesungguhnya. Kita menghormati keyakinan dan ritual orang lain. Kalau kita memaksa orang-orang non Islam mengikuti ritual kita, berarti menyuruh mereka mengkhianati keimanannya. Karena itu, kita pun tidak akan pernah ikut beribadah dengan mereka, alasannya ini merupakan pengkhianatan terhadap iman kita.
Kalau mereka meminta kita biar mengikuti ibadahnya dengan dalih toleransi antar umat beragama, ketahuilah ini merupakan racun keimanan yang harus kita tolak dengan tegas.
Ayat 6. Para pakar tafsir menyebutkan, kata lakum pada ayat ini mengandung makna “khusus untuk kamu”, sehingga ayat terakhir ini seperti berpesan kepada mereka bahwa agama yang kalian anut itu khusus untuk kalian, dan agama yang saya anut khusus untukku. Karena itu, tidak perlu kita campuradukkan, kau tidak perlu mengajak kami (umat Islam) untuk beribadah dengan caramu, dan kami pun tidak akan mengajakmu beribadah dengan cara kami.
Ayat di atas diturunkan kepada nabi Muhammad pada waktu nabi diajak oleh kaum Musyrik Mekkah untuk mengadakan kompromi agama. Mereka (kaum Musyrik) mengajukan syarat yang tidak sanggup diterima oleh Nabi, syaratnya yaitu dengan mengadakan ibadah secara bergantian, maksudnya, pada waktu-waktu tertentu kaum Musyrik melaksanakan ibadah menyerupai yang diajarkan oleh nabi Muharnmad, dan sebaliknya nabi Muhammad SAW dan pengikutnya pun harus mengikuti ibadah yang dilaksanakan oleh kaum Musyrik.
Tehadap impian kompromi semacam itu, Allah menurunkan wahyu sebagaimana tersebut dalam surat Al-Kafirun bahwa kompromi agama mustahil dilakukan umat Islam, biarlah dalam hal ibadah ini masing-masing melaksanakan sesuai dengan keyakinannya (Ahmad Azhar Basyir, 1993 : 240). Dan dengan surat ini secara tidak eksklusif Allah melarang keras adanya kompromi agama serta memberi tahu kepada umat insan terutama umat Muhammad SAW, bahwa Islam tidak mengenal toleransi dalam hal keimanan dan peribadatan (Maftuh Adnan, 1992 : 240). Hal ini sudah tidak sanggup diganggu gugat, sebagai umat Islam kita harus bisamelaksanakan semua itu, biar tidak tersesat. Agama Islam tidak melarang umatnya untuk melaksanakan kekerabatan dengan orang-orang non Islam, tetapi hubungannya harus sebatas kekerabatan duniawi saja
0 Komentar untuk "Ayat Perihal Toleransi Antar Umat Beragama"