17 Agustus 2009

17 Agustus selalu diperingati menjadi hari yang istimewa di Indonesia. Bendera merah putih banyak sekali ukuran akan dikibarkan menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. 17 Agustus juga selalu dirayakan di rumahku, alasannya yaitu mama ku berulang tahun tepat di tanggal tersebut.

Namun dari sekian banyak "17 Agustus" yang pernah kulewati, tahun 2009 yaitu yang cukup berkesan alasannya yaitu saya merayakannya di atas sebuah kapal yang sedang terapung di kawasan alasannya yaitu mesinnya rusak.

Pada ketika itu, saya sedang menjalankan masa baktiku sebagai seorang dokter PTT di kawasan yang sangat sungguh super terpencil. Puskesmas Longgar-Apara, Kecamatan Aru Tengah Selatan, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku.

Mengapa kukatakan sangat sungguh super terpencil? Jawabannya yaitu kerena saya harus melewati perjalanan selama 14-16 jam memakai bahtera kayu hanya untuk mencapai ibukota kabupaten demi mencari sinyal handphone, berbelanja kebutuhan dapur bulanan dan memasukan laporan Puskesmas ke Dinas Kesehatan.

Dan pada 17 Agustus 2009, perjalanan yang 16 jam itu molor menjadi dua setengah hari alasannya yaitu kapal kayu yang kunaiki mengalami kerusakan mesin. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan.

Foto ketika 17 Agustus 2009
15 Agustus
Mama Ho dan Ridwan sang pemilik Kapal bernama "Spirit" memberitahu saya bahwa besok kapal mereka akan kembali ke Apara sesudah selasai berbelanja di Dobo.

Mama Ho yaitu salah satu pedagang Tionghoa yang mempunyai toko kelontong serba ada di Apara. Keluarga mereka sudah layaknya menyerupai kerabat dan orang bau tanah bagiku ketika saya ber PTT. Mereka sangat membantuku dalam melewati hari-hari PTT ku yang kering keras namun berkesan.

Hari itu saya pun sibuk berbelanja. Perjalanan ke Puskesmas yang memakan waktu hampir seharian menciptakan saya hanya mengunjungi kota sekitar 1 bulan sekali.

Aku berbelanja bersama teman-teman di rumah dinas dokter di kota Dobo. Beras, minyak tanah,  minyak goreng, kacang hijau, mie instant, kerupuk udang, kuliner kaleng, bawang dan segala teman-teman dapurnya kubeli untuk menciptakan hidupku selama 1 bulan ke depan terhindar dari kelaparan. Manajemen keuangan ala ibu rumah tangga dalam berbelanja ke pasar kupelajari ketika itu :)

Baju-baju sudah kukemas rapi hari itu semoga saya siap berangkat besok. Barang belanjaan dan ransum sebulan telah kutaruh di dalam kapal "Spirit" semoga esok hari saya tidak terlalu kerepotan membawa banyak barang dari rumah dinas dokter di kota Dobo menuju kawasan kapal bersandar. Hari itu berakhir dengan baik.


16 Agustus

Seingatku "Spirit" berangkat cukup pagi ketika itu. Jika kita memakai kapal, kita tidak sanggup sembarangan berangkat sekehendak hati. Pasang surut air bahari harus diperhatikan beserta arus laut. Jika tidak, sanggup jadi kapal malah terkandas di darat.

Jika anda bertanya : "berapa jumlah uang yang harus dibayar untuk perjalanan dari Dobo ke Apara selama 16 jam?" Jawabannya yaitu tidak sepeser pun. Mungkin anda terkejut, namun itu kenyataannya.

Kepulauan Aru yaitu Kabupaten dengan 700 pulau-pulau yang tersebar. Namun ironisnya tidak didukung oleh sarana transportasi bahari yang baik. Yang ada hanyalah : carter speedboat/kapal yang mahal namun cepat sampai; Atau menumpang pada kapal pedagang dengan jadwal yang tidak terang namun gratis. Beberapa kampung menerapkan gratis, namun peraturan di kampung lain di Aru mungkin berbeda, dimana kita harus membayar 20-30 ribu sebagai pengganti uang minyak (tetap saja hemat bukan?)

Peta Kabupaten Kepulauan Aru
Spirit cukup sarat penumpang kali itu. Selain membawa barang dagangan dari pemilik kapal, kapal ini juga sarat ditumpangi orang-orang yang hendak kembali dari Dobo menuju Apara.
Nampak di antara penumpang itu Pak Camat Aru Tengah Selatan yang patut dikategorikan sebagai "... langka" alasannya yaitu jarang sekali hadir di desa kami, walau kantor kecamatan terang bangun tegak di desa Longgar-Apara. Pak Camat nampaknya lebih betah tinggal di kota daripada di kantor. Namun 17 Agustus menciptakan ia harus kembali ke Longgar-Apara untuk menjadi inspektur upacara, difoto, menciptakan Surat Perintah Perjalanan Dinas dan kembali ke kota secepatnya. Mental dan pengabdian yang tidak pantas dijadikan teladan.

Bila menghitung usang perjalanan, maka seharusnya Spirit yang berangkat pagi ini akan datang tepat tengah malam di Apara. Angin dan ombak menyerupai biasa selalu setia menemani perjalanan kami dari Dobo hingga ke Benjina. Selanjutnya kami memasuki selat sempit yang nampak menyerupai sungai. Tipuan mata memang, alasannya yaitu walau sempit, namun airnya asin dan melintang membelah kepulauan Aru dari barat ke timur sebanyak 3 kali (Sungai Manumbai, Sungai Workai dan Sungai Maekor yang ketiganya lembap asin).

Perjalanan bahari selama itu memang mengandung banyak rintangan. Perbandingannya hampir 1:1 antara lancar dan terhambat. Kadang kapal terkandas, kadang arus sungai terlalu kencang, kadang mesin rusak dan macam-macam alasan lain. Kali ini mesin utama kapal MATI total di perairan antara Lorang dan Manjau. Umumnya mekanik jadi-jadian akan bermunculan dari para penumpang kapal dan perjalanan sanggup dilanjutkan. Namun kali ini kami memerlukan spare part yang rusak.
Pertanyaannya yaitu : Dimana kami sanggup membelinya di tengah selat ini?

Kami terapung tak terang dan membuang jangkar. Berharap kapal lain yang juga lewat di jalan yang sama sanggup meminjamkan spare part nya. Hukum Laut tak tertulis biasanya dipatuhi di kawasan ini. Hukum itu berbunyi : "tolonglah orang yang sedang kesulitan di bahari sedapat mungkin". Kadang spare part atau apapun sanggup diberikan cuma-cuma bila kita berpapasan dengan kapal lain yang mengalami kesulitan.

Sampai matahari terbenam, spirit tak beranjak dari tempatnya membuang jangkar. Kapal lain yang kemudian lalang juga cukup jarang dan tidak ada yang membawa cadangan benda yang kita inginkan. Menepi ke daratan akan menciptakan persoalan baru, alasannya yaitu kami dikepung rawa, dan akan sangat berbahaya jikalau kapal menjadi miring akhir kandas dan waspada serangan buaya sepanjang rawa. Jadilah kami menghabiskan malam yang damai hari itu. tidur bertabur bintang dalam keheningan malam tanpa secuil bunyi apapun. Hari itu berakhir dengan kurang baik.

17 Agustus
Pagi hari, 17 Agustus telah tiba. Pak Camat yang seharusnya menjadi inspektur upacara masih bergelung dalam sarungnya dan terapung di selat sempit.

Semua mulai menggeliat berusaha mencari sesuatu yang sanggup menghangatkan perut. Dari bab belakang kapal terdengar info tak sedap. Karena panci satu-satunya di kapal ini bocor. Bocornya  pun tepat di tengah panci sebesar jarum. Air akan menetes bila kita mulai memasak air dan sanggup menciptakan api di kompor padam.

Dan pertandingan 17 Agustus level 1 pun dimulai. Kami bertanding langgar cepat antara kompor mati atau air mendidih terlebih dahulu saar memasak air :) . Hasil pertandingan itu tidak dimenangkan siapa pun. Air setengah hangat pun diangkat untuk menciptakan kopi, Keputusan yang tepat ketika itu.

Stok kuliner mulai menipis, kami tidak menyiapkan cukup bekal kuliner dan air untuk bermalam. Tuntutan perut yang berteriak kelaparan memaksa kami melanjutkan pertandingan ke Level 2 : "memasak mie instan memakai panci berlubang". Untunglah kami menumpang kapal pedagang yang berisi banyak dagangan berupa materi makanan, beras, mie instant dan air. Kami hanya perlu mengeluarkan uang dan memembelinya walau di atsa kapal Spirit.

Seolah tak cukup kenyang, pertandingan level 3 dimulai. "Kami mulai memasak nasi dengan panci bocor itu". Sungguh konyol memang bagaimana kami berusaha ketika itu untuk menghindari tetesan air dari panci memadamkan api kompor. Hasil kembali berakhir imbang, ketika nasi mulai menjadi bubur, kami putuskan untuk berhenti dan mulai membawa segala hasil masakan kami untuk dibagi rata.

Masalah gres muncul : mana piring dan sendoknya???
Nampaknya bahari telah menciptakan insan menjadi kreatif. Lingkungan yang serba terbatas di bahari menciptakan ide-ide gila dan cemerlang muncul. Kami membelah botol air mineral 1,5 liter menjadi dua. itulah piring kami. dan tutup botolnya menjadi sendoknya. Sangat kocak memang. Namun tak sia-sia. Kami berhasil menyantap "bubur mie" tersedap di selat Aru dengan sukses. Bon apetite!

Bon Apetite!
Bubur Mie ala Selat Aru
Setelah persoalan perut teratasi kami mulai memandangi bendera merah putih di tiang tengah kapal kayu sambil berandai-andai mengikuti upacara. Itulah yang menjadikan 17 Agustus 2009 menjadi berkesan bagiku. Memandang bendera merah putih lusuh di tiang kapal dan menyadari bahwa ketika itu saya sedang mengabdi menjadi dokter di wilayah terpencil di Maluku membuatku gembira sanggup memberi sesuatu untuk Maluku dan Indonesia.

Matahari beranjak naik ke atas. Sarung yang semalam berfungsi menjadi selimut penghangat kali ini berfungsi sebagai payung peneduh dan tenda untuk melindungi kulit dari sunburn. Umumnya Sunburn tak pernah bolos bila saya melaksanakan perjalanan dari Dobo ke Longgar-Apara dan sebaliknya. Perlu sunblok dengan SPF 1000 (sayangnya sunblock ku cuma SPF 30) untuk mengindari sunburn di perjalanan yang panjang dengan kapal kayu di bawah matahari terik.

Spirit nampaknya sedang merajuk hari itu. Masih belum ada kemajuan berarti walau mekanik dan Ridwan sang pemilik kapal telah semalaman bermandi oli untuk membetulkan kapal. Beberapa kapal yang lewat memperlihatkan derma untuk menarik spirit ke desa terdekat, namun ukuran spirit yang cukup besar menciptakan tak sanggup sembarangan kapal sanggup menariknya.

Titik keinginan muncul ketika sebuah kapal besar dari Desa Lorang muncul. Hukum bahari pun berjalan kembali. Mereka tanpa segan menanyakan persoalan kami dan mulai mecoba memperbaiki. Hasilnya sama, nihil, spare part tetap diperlukan. Namun mereka bersedia menarik kapal kami ke desa Lorang untuk mencoba mencari spare part tersebut dan mengisi stok air higienis kami.

Kami singgah di Lorang sore hari, sebuah desa kecil dengan penduduk tak hingga 200 jiwa. Aku kurang beruntung alasannya yaitu temanku yang bertugas di Puskesmas Lorang sedang melaksanakan Puskesmas Keliling dan pintu Puskesmas tertutup rapat. Aku tidur di dermaga Lorang malam itu, di sebuah kapal yang sedang bersandar disana sambil ditemani gerimis. senaja ku tidak menyingkir ke dalam, alasannya yaitu ingin menikmati setiap titik air hujan jatuh ke kulitku dan akibatnya ku tertidur. Hari itu berakhir dengan sedikit baik.

Selat sempit kawasan kami terapung
18 Agustus 
Spare part kapal yang diharapkan tidak kami temukan di Lorang. Namun mesin kapal sudah menyala dan kami sanggup melanjutkan perjalanan yang gres setengah jalan dari Dobo ke Longgar-Apara. Tak ada jaminan bahwa mesin tak akan mati lagi, namun rasa ingin cepat hingga di rumah memaksa semua orang memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Seingatku mesin kapal mati 2 kali lagi, namun masih sanggup diperbaiki sesudah berhenti beberapa jam. Kami juga berhenti di Desa Koba Sel Timur untuk mencoba mencari spare part alasannya yaitu ada sebuah toko disana.

Rasa letih, tubuh yang terasa lengket, muka yang mulai berminyak menciptakan ingin rasanya segera sampai, mandi, keramas dan tidur tanpa diganggu. dan keinginan itu terkabul. Tanggal 18 sore hari kami merapat di Apara dengan disambut banyak pertanyaan alasannya yaitu kami terlampau lambat hingga dan menciptakan banyak orang kuatir.

Tibalah saya di Puskesmas ku, Puskesmas Longgar-Apara.  Aku tinggal disana di sebuah kamar ditemani 3 ekor anjing yang menemaniku. Molly, Miki dan Tira yang menyambutku. Segera kuminta seorang warga untuk mengisi air kolam di kamar mandi ku, dan tanpa diminta beberapa orang mengirimkan kuliner ke Puskesmas, alasannya yaitu tau dokternya masak sendiri dan nampaknya terlalu lelah untuk masak menunggu masakan matang. Mandi, keramas, makan segera kulakukan tanpa perintah. Selanjutnya kunyalakan pelita dan memasak air untuk minum.

Pelita dan menimba air yaitu sesuatu yang tak asing ketika ku bertugas di Longgar-Apara. Walau statusnya sebagai ibukota kecamatan, namun kami miskin fasilitas. Tak ada air PAM, tak ada listrik PLN bahkan sinyal TELKOMSEL pun tak muncul disana walau anda memanjat pohon kelapa tertinggi disana.  Tower sinyal hanya ada di Dobo yang 14 jam perjalanan bahari jauhnya dari sini (3 hari pada trip kali ini hehehe).

Matahari mulai karam dan lampu pelita mulai menerangi kamarku. Molly beserta anaknya miki dan tira kupaksa tidur lebih cepat kali ini dan rasanya nyaman sekali membaringkan tubuh di kaur busaku hari itu. Hari itu berakhir dengan sempurna.

Jalanan menuju Puskesmasku yang terletak di ujung kampung

Bersama keluarga Bapak Ho. Keluarga baruku selama saya PTT di Longgar-Apara

Puskesmas Longgar-Apara
Puskesmas Longgar-Apara
Related Articles :
Longgar dan Apara -2 Desa di Tepian Indonesia
A Journey Through Aru Islands
Indonesia, the Islands Nation

Related : 17 Agustus 2009

0 Komentar untuk "17 Agustus 2009"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)