Saya teringat pada suatu kisah yang dibawakan penceramah populer perihal seseorang yang terpengaruh jawaban adanya sugesti atau pendapat orang lain. Cerita persisnya saya lupa, namun kalau boleh saya ceritakan ulang secara bebas yaitu menyerupai ini :
Seorang petani akan menjual seekor kambing ke pasar. Kambing tersebut sehat dan gemuk sehingga ia berkeyakinan bahwa akan bisa menjualnya dengan harga yang tinggi. Dalam perjalanannya ke pasar, ia bertemu dengan beberapa orang. "Mau jual kambing yah pak?" sapa orang pertama yang ia temui. "Iyah, saya mau jual kambing ini ke pasar, siapa tahu sanggup harga yang tinggi" jawab petani tersebut. "Waduh, kambing kurus menyerupai ini mana mungkin bisa dijual dengan harga yang tinggi" komentar orang tersebut. Petani tersebut tentu saja tidak oke dengan pendapat itu "Ini kambing sehat dan gemuk pak, saya yakin harga jualnya tinggi" terang petani itu. Ia pun melanjutkan perjalanan.
Selang berapa lama, ia bertemu dengan kedua dan kembali mengomentari kambingnya. Dikatakan bahwa kambingnya tidak bagus warna bulunya dan tidak sehat sehingga mustahil bisa dijual dengan harga yang tinggi. Mendapatkan komentar itu, petani itu mengacuhkannya sambil melanjutkan perjalanan. Namun ia mulai berpikir kenapa dua orang tersebut menyampaikan bahwa kambing yang ia bawa kurus dan tidak sehat. Padahal ia sangat yakin bahwa kambingnya gemuk dan sehat. Hal tersebut membuat ia bingung.
Bertemulah ia dengan orang ketiga diperjalanan. Hal yang sama ia dengar. Orang tersebut memberi komentar bahwa kambingnya kurus dan tidak sehat, mustahil bisa dijual dengan harga yang tinggi. Hal ini tentu saja membuat petani tersebut semakin bertanya - tanya dalam hati apakah pendapatnya perihal kambing yang ia bawa salah. Apakah pendapat ketiga orang itu benar?. Apa mungkin kambing yang ia bawa kurus dan tidak sehat?
Dalam kebingungan, ia kembali bertemu dengan orang keempat dan kembali mendapat komentar yang sama. Dikatakannya bahwa kambing itu kurus dan tidak sehat dan mustahil bisa dijual dengan harga yang tinggi. Alhasil, keyakinan petani diawal bahwa kambingnya sehat dan gemuk bisa dijual dengan harga yang tinggi pun berubah. Kini iya meyakini bahwa kambingnya kurus dan tidak sehat menyerupai yang diugkapkan oleh keempat orang yang ia temui. Ia pun menjual kambing tersebut dengan harga murah di pasar.
Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa betapa besar imbas dari sebuah komentar terhadap keyakinan seseorang. Petani tersebut merubah keyakinannya yang semula ia berkeyakinan bahwa kambingnya gemuk dan sehat serta bisa dijual dengan harga yang tinggi, ternyata ia menjualnya dengan harga yang sangat rendah jawaban komentar yang ia terima.
Ilustrasi lain, coba kita praktekan kepada teman atau siapapun. Buat akad dengan beberapa orang untuk menawarkan komentar yang sama pada target. Misal, katakanlah bahwa teman atau sasaran tersebut terlihat sakit dan butuh istirahat. Komentar tersebut diulang lagi oleh orang berbeda, demikian seterusnya. Maka saya berkeyakinan bahwa sasaran akan merasa bahwa dirinya sedang dalam keadaan sakit dan butuh istirahat.
Dalam dunia politik, teknik ini pun sering dimanfaatkan seiring perkembangan teknologi gosip berupa media sosial. Dalam membangun sebuah persepsi, mereka membuat sebuah “pasukan khusus” atau biasa yang di sebut “buzzer”. Tugas pasukan ini yaitu membentuk persepsi perihal tokoh politik atau siapapun yang menjadi kliennya dengan memposting banyak sekali hal positif, menawarkan testimoni atau komentar, membagikan postingan dan lain sebagainya sehingga terbentuk persepsi bahwa kliennya tersebut yaitu tokoh yang sempurna. Celakanya, banyak masyarakat yang mempercayai atau terpengaruh tanpa sadar atas proses pembentukan persepsi tersebut.
Para buzzer bekerja tidak sendiri, mereka yaitu sebuah tim. Mereka bekerja bersinergi satu sama lain. Tidak hanya membangun kesan positif, terkadang mereka juga bertugas untuk menjatuhkan lawan politik dengan memposting atau komentar hal – hal negatif. Maka tidak jarang mereka harus berhadapan dengan “pasukan” dari lawan politik sehingga terjadi yang disebut “perang persepsi”. Fenomena ini biasanya muncul menjelang pesta demokrasi menyerupai pilkada atau sejenisnya.
Teknik membangun persepsi atau kesan dengan menawarkan komentar ternyata sanggup juga diimplementasikan dalam dunia pendidikan. Untuk mencobanya, katakanlah bahwa seorang siswa bahwa ia tampan atau bagus pada siswa yang kepercayaan dirinya kurang. Buat akad dengan guru lain untuk menyampaikan hal yang sama. Semakin banyak banyak guru yang berkomentar sama, maka siswa tersebut akan mendapat semakin banyak sugesti positif sehingga saya berkeyakinan bahwa siswa tersebut akan bertambah kepercayaan dirinya. Inilah yang saya sebut sebagai teknik komentar berulang.
Teknik komentar berulang yaitu teknik sumbangan sugesti atau pandangan/komentar terhadap orang lain secara berulang dalam kondisi dan waktu berbeda yang dilakukan beberapa orang berbeda untuk membangun sebuah persepsi pada sasaran sehingga sasaran berlaku atau bertindak sesuai sugesti yang diberikan. Sugesti yang diberikan bisa bersifat positif atau negatif tergantung dari tujuan yang dikehendaki dari si pemberi sugesti.
Teknik komentar berulang ini sanggup juga kita aplikasikan dalam mendisiplinkan siswa di sekolah terhadap tata tertib yang ada. Teknik ini tentu berbeda jauh dengan hukuman. Teknik ini lebih memanfaatkan unsur sugesti dalam membentuk persepsi atau cara pandang siswa biar ia menjadi warga sekolah yang baik.
Sebagai contoh, sebuah sekolah mempunyai aturan bahwa seragam siswa harus dimasukan/diselipkan dengan rapi ke dalam celananya. Namun ternyata, terdapat beberapa orang siswa yang melanggarnya dengan tetap mengeluarkan baju yang ia pakai. Jika memakai teknik hukuman, mungkin siswa pelanggar tersebut ditegur dan diberikan hukuman. Saya berkeyakinan ini tidak akan membuat imbas jera, atau bahkan yang ada tumbuh dendam pada si peserta eksekusi terhadap guru yang menghukumnya. Namun dengan teknik komentar berulang, ajaklah beberapa orang guru untuk menawarkan sugesti positif terhadap si pelanggar. Misal katakan padanya bahwa ia terlihat lebih menarik dan gagah pada ketika bajunya rapi. Berikan sugesti tersebut secara berulang oleh guru yang berbeda dan waktu yang berbeda. Lihatlah hasilnya. Tentu ini juga bisa dipakai pada jenis pelanggaran yang lain.
Untuk bisa menerapkan teknik ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan guru, yaitu :
- Harus ada kerjasama beberapa orang guru paling sedikit tiga orang. Semakin banyak guru yang terlibat semakin baik. Karena semakin banyak pemberi sugesti, maka semakin gampang sugesti itu diterima oleh siswa.
- Siapkan kalimat sugesti positif sesuai tujuan awal (kalimat harus bersifat membangun dan tidak mencela)
- Lakukan dengan hati dan bersungguh - sungguh ketika memberi sugesti. jangan terkesan pura - pura atau terpaksa.
- Pilih waktu yang tepat untuk menawarkan sugesti. Karena momen yang tidak tepat tidak akan menawarkan imbas yang signifikan.
Hukuman mungkin saja bisa dipakai dalam mendisiplinkan siswa. Namun demikian, eksekusi berdasarkan saya yaitu sebuah pilihan terakhir. Hukuman bersifat memaksa dan membuat siswa menjadi objek tak berdaya. Hal ini suatu ketika akan menawarkan imbas negatif dikemudian hari. Jika pun harus menghukum, eksekusi itu harus eksekusi yang mendidik. Hukuman tersebut berupa sebuah konsekuensi. Konsekuensi yaitu resiko yang harus ditanggung seseorang atas perbuatan yang dipilihnya. Artinya, siswa harus diberi klarifikasi perihal aturan yang berlaku dengan konsekuensi yang diterima bila ia melanggarnya. Penjelasan tersebut dilanjutkan dengan membuat akad antara siswa dengan guru perihal aturan dan konskuensinya. Pada ketika siswa melanggar tata tertib atau aturan, ia menyadari konsekuensi yang akan ia terima. Konsekuensi tersebut yaitu pilihannya, bukan eksekusi yang dipilihkan oleh guru.
Semoga bermanfaat ....
ref : https://gurukreatif.wordpress.com/2008/02/12/tips-mendisiplinkan-siswa-tanpa-harus-menghukum/
0 Komentar untuk "Tips Mendisiplinkan Siswa Di Sekolah Tanpa Eksekusi (Teknik Komentar Berulang)"